Kota Pati baru saja diguyur hujan sejak sore. Hujan menyisakan udara dingin dan tanah basah. Namun tidak menyurutkan semangat jamaah untuk menghadiri Suluk Maleman, Minggu (26/2/2023).
Selepas waktu Isyak, halaman Rumah Adab Indonesia Mulia, di Jalan Pangeran Diponegoro Pati sudah penuh dengan jamaah. Bahkan jamaah sampai meluber hingga tepi jalan raya tersebut.
Malam itu Suluk Maleman menghadirkan pembicara Muhammad Ainun Nadjib atau yang dikenal sebagai Cak Nun atau Mbah Nun. Dalam kesempatan itu Cak Nun pun mengajak jamaah bertawashul atau mendekatkan diri kepada Allah.
Budayawan sekaligus salah satu guru bangsa ini pun mengajak para jamaah untuk menumbuhkan kesadaran ruhiyah. Salah satunya dengan mencoba memahami diri. Karena dengan mengenal dirinya maka juga mengenal Tuhannya.
“Mari bertawashshul serajin-rajinnya. Karena ada yang tak bisa dibangun dengan akal,” ujar Mbah Nun, panggilan akrab para penggiat Ma’iyah pada sosok Muhammad Ainun Nadjib.
Lebih lanjut Cak Nun menyebut, seringkali akal sulit dalam memahami kebenaran sejati. Maka diapun mengajak untuk terus beribadah dengan kecintaan dan keiklashan.
Dijelaskan, ada tingkatan dalam pemahaman manusia. Mulai dari taklim atau dari tidak tahu menjadi tahu. Bertingkat dari sekedar tahu menjadi familiar, kemudian naik memahami sesuatu secara lebih luas, memahami lebih mendalam hingga munculnya kecocokan maupun ketidak cocokan untuk digunakan. Sementara yang terakhir adalah iklas atau tidaknya dalam menerima sesuatu.
“Seringkali akal tidak mampu menangkap arti dari ibadah. Tapi tetap saja lakukan dengan cinta dan ikhlas. Temukan sesuatu yang baik di hidupmu dan lakukan,” tambahnya.
Cak Nun sendiri menyebut bahwa dia sendiri menjadikan puasa sebagai pusat kesadaran utamanya. Dia berupaya menggunakan konsep puasa di segala hal.
“Puasa itu sederhana. Meskipun bisa makan dua piring tapi cukup makan sepiring itu juga puasa,” tambahnya.
Kesejatian
Anis Sholeh Ba’asyin, penggagas Suluk Maleman menyebut perlu pentingnya terus berdialog dengan diri sendiri sehingga bisa menemukan kesejatian. Dengan terbiasa mengarahkan diri menjauhi keburukan, maka nantinya secara otomatis akan selalu diarahkan untuk menjauh dari suatu keburukan.
“Pribadi dihasilkan dari dialektika ruh, akal, nafs dan qalb. Perlu dibentuk dari pelatihan sejak kecil dan terus menerus,” jelasnya.
Menurut Imam Ghozali, tambah Anis, antara nafsu, akal, ruh dan qalb berada pada satu kesatuan lingkaran. Sehingga apapun yang menang itulah yang akan memimpin.
“Jadi kalau nafsu yang menang maka yang memimpin adalah nafsunya. Tapi jika yang menang adalah ruhnya maka yang memimpin adalah ruhnya,” jelasnya.
Dalam penjelasan Al Qur’an, sebutnya, orang kafir digambarkan seperti orang yang berjalan di tengah laut gelap. Sementara diatasnya ada awan berlapis –lapis sehingga memunculkan kegelapan yang hampir mutlak. Sementara orang munafik digambarkan seperti orang yang berada di gelap malam, yang hanya berjalan saat ada cahaya petir menunjukkan jalan.
“Dengan bertawashshul atau mendekatkan diri pada Allah diharapkan memunculkan cahaya untuk menerangi dalam laku manusia,” pungkasnya. (ars)