PATI – Sebuah tradisi warisan leluhur yang melibatkan penyerahan sesaji berupa kepala, kaki, dan ekor kerbau telah dilakukan di Desa Sambiroto, Kecamatan Tayu, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Indonesia. Sesaji tersebut diarak mengelilingi desa sebelum akhirnya dilarung ke muara Sungai Tayu, Jumat (19/4/2024).
Sesaji ditata di atas miniatur perahu dan diarak dalam sebuah parade yang diiringi oleh musik drumband dan pertunjukan kesenian barongan. Parade ini berangkat dari kantor desa dan berakhir di TPI Sambiroto.
Setelah doa-doa dipanjatkan, sesaji kemudian dinaikkan ke perahu nelayan dan dilarung ke muara Sungai Tayu untuk kemudian dilarung ke muara, yakni laut utara Pulau Jawa.
Tidak hanya kerbau, sesaji berupa kepala, kaki, dan ekor kambing serta ayam putih mulus juga dilarung ke hilir sungai. Ribuan warga berkerumun di sepanjang rute parade untuk menyaksikan ritual ini.
Menurut Kepala Desa Sambiroto, Sulistiono, ritual ini adalah bagian utama dari tradisi Lomban Kupatan yang telah dilaksanakan sejak tahun 1950-an.
“Yang mengawali tradisi ini ialah leluhur kami yang bernama Pak Wedono. Dulu, setiap sepekan setelah lebaran, beliau dan penggawanya selalu lomban (menaiki perahu di sepanjang sungai),” kata dia.
Lomban ini disertai dengan penyembelihan kerbau yang kemudian dilarung sebagai bentuk rasa syukur. Kebiasaan Wedono tersebut kemudian menjadi tradisi yang dilestarikan masyarakat setempat hingga kini.
“Yang dilarung bukan hanya kepala kerbau. Kalau kepala kerbau khusus untuk di muara sungai. Ada sesaji lain yang diletakkan di hilir sungai, yakni kepala, kaki, dan ekor kambing. Ada pula ayam putih mulus,” jelasnya.
Tradisi ini juga bertujuan untuk tolak bala, atau mencegah musibah, bagi masyarakat Desa Sambiroto yang sebagian besar adalah nelayan. Mereka percaya bahwa ritual ini dapat melindungi mereka dari musibah saat bekerja di laut.
Seorang warga, Kholistiono, mengungkapkan kegembiraannya dapat menyaksikan dan ikut serta dalam tradisi Lomban Kupatan ini. Dia juga menambahkan bahwa ini adalah kali pertamanya naik perahu hingga ke muara untuk melihat langsung proses pelarungan sesaji.
“Ini tradisi setahun sekali setelah lebaran. Baru pertama kali saya ikut naik perahu sampai muara,” ucapnya.
Kholistiono menekankan bahwa sebagai warga, mereka mendukung kegiatan ini. Menurutnya, ini adalah tradisi warisan leluhur yang harus dihargai dan dipertahankan.
Editor: Fatwa