BUDAYA, LINGKARMURIA.COM – Gunawan Budi Susanto atau yang akrab disapa Kang Putu, memberikan sejumlah kritikan terhadap buku kumpulan cerpen yang ditulis oleh Achiar M Permana. Menurut Kang Putu penggarapan kumpulan cerpen kurang optimal dan juga banyak terkesan monoton.
Kang Putu menilai seharusnya pengembangan cerita dalam kumpulan ceritanya bisa lebih baik. Dia berpendapat bahwa pola penceritaan dalam beberapa cerpen terasa monoton dan membosankan.
“Achiar punya kemampuan bercerita. Tapi saya menilai di kumcer pertama ini dia kurang optimal. Ketidakoptimalan itu karena dia tidak cukup sabar meneliti dan mencermati ulang cerpen-cerpen yang dia tulis,” ungkapnya.
“Dia terjebak dalam pola penceritaan yang nyaris tunggal. Sembilan dari 12 cerpen dia, model penceritaannya sama persis. Endingnya juga nyaris sama, antara ibunya mati, minggat, atau cerai. Kalau dia ubah sedikit saja, misalnya mengubah perspektif Bapak menjadi perspektif Ibu, hasilnya akan berbeda,” lanjut dia.
Lebih lanjut, Kang Putu menyarankan agar Achiar lebih berani mencoba variasi dalam gaya penulisan dan memberikan ruang bagi tokoh anak dalam cerita tersebut untuk berperan lebih aktif.
Selain itu, dia berharap agar kritik semacam ini bisa membuat Achiar semakin bersemangat dalam menulis dan menemu cara-cara bercerita yang makin kuat.
“Sebagai jurnalis selama belasan tahun, cukuplah dia punya kekayaan data yang bisa jadi sumber penceritaan. Achiar punya potensi,” jelasnya dalam forum Bedah Buku Sambang Sastra #3 di Joglo Sucen, jalan Pasucen-Lahar Kilometer 3, Desa Pasucen, Kecamatan Trangkil, Pati, Jumat (29/09/2023) malam.
Diketahui Achiar menerbitkan buku berjudul Antawacana di Sunyi Kurusetra. Buku tersebut berisi 12 cerita pendek yang memiliki akar atau inspirasi dari cerita-cerita wayang. Beberapa di antaranya menggunakan kisah wayang untuk menggambarkan fenomena dan masalah kontemporer, sementara yang lain adalah penafsiran ulang dari cerita-cerita wayang yang sudah ada.
Achiar telah menerbitkan beberapa karya sebelumnya, termasuk buku esai “Dusta Yudhistira” pada 2018 dan kumpulan puisi “Sepasang Amandava” pada 2020, yang semuanya memiliki keterkaitan dengan kisah pewayangan.
Karya yang disebutkan terakhir mendapatkan Penghargaan Prasidatama dari Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah sebagai antologi puisi terbaik. Meski digarap dalam tiga bentuk berbeda, yakni esai, puisi, dan cerpen, ketiga buku tersebut punya benang merah yang sama, yakni berpijak pada kisah pewayangan.
Karena itulah, Achiar menyebut ketiga karyanya itu sebagai trilogi. Bahkan berpotensi jadi tetralogi karena dia juga punya keinginan menulis novel dengan corak serupa.
“Saya menulis buku dengan kepentingan agar wayang bisa kembali hidup dan teman-teman muda mau melirik wayang. Sebab memiliki kaitan dengan kondisi saat ini,” ujarnya.
Achiar berusaha menghidupkan kembali minat masyarakat, khususnya generasi muda, terhadap budaya wayang dengan menghubungkannya dengan isu-isu dan peristiwa saat ini. Dia percaya bahwa cerita wayang dapat digunakan untuk menggambarkan realitas kehidupan masa kini. Namun, dia menyadari bahwa jika cerita wayang hanya disajikan secara tradisional, mungkin tidak akan menarik perhatian generasi muda.
“Karena itulah, pilihan saya adalah menautkan wayang dengan fenomena dan persoalan hari ini. Misalnya berkait konflik pembebasan lahan di Kendeng. Cerita wayang saya kaitkan untuk melihat situasi ambyar, hati yang tersakiti, sebagai pijakan untuk menggambarkan peristiwa dan persoalan hari ini,” jelasnya.
Penulis : Arif
Editor : Fatwa