Lampu temaram menyinari Gedung
FKIP Universitas Muria Kudus, Sabtu (18/5/2019) malam. Hari itu sedang
berlangsung pementasan teater oleh kelompok Tetater Gerak 11. Lakon yang
dibawakan adalah Masjid Tanpa Sujud,
karya Habib Anis Sholeh Ba’asyin. Budayawan dari Bumi Mina Tani.
FKIP Universitas Muria Kudus, Sabtu (18/5/2019) malam. Hari itu sedang
berlangsung pementasan teater oleh kelompok Tetater Gerak 11. Lakon yang
dibawakan adalah Masjid Tanpa Sujud,
karya Habib Anis Sholeh Ba’asyin. Budayawan dari Bumi Mina Tani.
Masjid Tanpa Sujud merupakan
refleksi diri, melihat kekacauan antar kelompok. Dimana masing-masing kelompok
menganggap dirinya paling benar. Dan menilai kelompok lain salah.
refleksi diri, melihat kekacauan antar kelompok. Dimana masing-masing kelompok
menganggap dirinya paling benar. Dan menilai kelompok lain salah.
Sayup-sayup dari balik tirai
panggung teater terdengar senandung gending Jawa. Tampak bayangan enam lelaki.
Paling depan memegang bedug diikuti empat pemain yang membawa rebana. Sementara
lelaki paling belakang seperti membaca
kitab.
panggung teater terdengar senandung gending Jawa. Tampak bayangan enam lelaki.
Paling depan memegang bedug diikuti empat pemain yang membawa rebana. Sementara
lelaki paling belakang seperti membaca
kitab.
Bayangan itu berpakaian adat Jawa.
Berjarik dan mengenakan ikat kepala.
Mereka pun bernyanyi sembari menabuh alat musik yang dibawa
masing-masing. Kali ini suara lebih ramai. Terdengar suara perempuan juga.
Berjarik dan mengenakan ikat kepala.
Mereka pun bernyanyi sembari menabuh alat musik yang dibawa
masing-masing. Kali ini suara lebih ramai. Terdengar suara perempuan juga.
Semua formasi tadi mendadak
buyar. Mereka berlarian tak karuan. Lalu keluarlah satu laki-laki gendut dan
perempuan tua. Mereka pun berdebat tentang dimana mereka berada. Ditengah
perdebatan mereka, datang lelaki tua bernama Abdullah. Ia pun berkata kepada
dua orang yang berdebat tadi. Bahwa mulut mereka masih cerewet. Tangan mereka
juga sering usil.
buyar. Mereka berlarian tak karuan. Lalu keluarlah satu laki-laki gendut dan
perempuan tua. Mereka pun berdebat tentang dimana mereka berada. Ditengah
perdebatan mereka, datang lelaki tua bernama Abdullah. Ia pun berkata kepada
dua orang yang berdebat tadi. Bahwa mulut mereka masih cerewet. Tangan mereka
juga sering usil.
Adegan panggung Masjid Tanpa Sujud |
Kedua orang itu berjilbab dan
bersarung tetapi tidak memiliki kesabaran. Abdullah lalu mengeluarkan buku dan
meminta mereka membaca. Lampu panggung mendadak redup. Lantunan ayat Al Qur’an
pun menggema.
bersarung tetapi tidak memiliki kesabaran. Abdullah lalu mengeluarkan buku dan
meminta mereka membaca. Lampu panggung mendadak redup. Lantunan ayat Al Qur’an
pun menggema.
Penari sufi dibalik layar
menampilkan bayangannya yang sedang berputar-putar. Sembari menunjukkan jubah
bagian bawahnya yang makin mekar.
menampilkan bayangannya yang sedang berputar-putar. Sembari menunjukkan jubah
bagian bawahnya yang makin mekar.
Suasana kembali tenang. Abdullah
pun menghilang. Dipanggung hanya ada lelaki gendut dan perempuan tua. Kini
mereka kembali berdiskusi. Tentang fenomena orang-orang yang sibuk membuat
barisan sendiri. Sembari menuding yang lain sesat. Serta dilakukan oleh siapa
saja dan atas nama apa saja.
pun menghilang. Dipanggung hanya ada lelaki gendut dan perempuan tua. Kini
mereka kembali berdiskusi. Tentang fenomena orang-orang yang sibuk membuat
barisan sendiri. Sembari menuding yang lain sesat. Serta dilakukan oleh siapa
saja dan atas nama apa saja.
Sutradara pementasan, Sutrimo
mengatakan, setting panggung dengan background membentuk kubah disertai
ranting dan dedaunan kering memiliki makna tersendiri. Pohon yang daunnya
kering melambangkan kesucian yang sudah mulai mengering. Bahkan hampir
dikatakan mati.
mengatakan, setting panggung dengan background membentuk kubah disertai
ranting dan dedaunan kering memiliki makna tersendiri. Pohon yang daunnya
kering melambangkan kesucian yang sudah mulai mengering. Bahkan hampir
dikatakan mati.
”Intinya kegersangan dimana orang
satu (lelaki gendut,Red) dan orang dua (wanita tua,Red) mencari sebuah
kebenaran,” ujarnya.
satu (lelaki gendut,Red) dan orang dua (wanita tua,Red) mencari sebuah
kebenaran,” ujarnya.
Alasannya mengangkat setting ini
sebagai refleksi tentang fenomena perpecahan umat. Setiap pergantian scene,
lampu panggung juga berkelap-kelip dengan cepat. Lighting yang digambarkan
kelap-kelip itu sebagai penggambaran suasana yang krodit. Selain itu ditengah
kelap-kelip lampu panggung, terdengar sayup-sayup teriakan bid’ah, salah, dan
tuduhan-tuduhan lainnya. (hus)
sebagai refleksi tentang fenomena perpecahan umat. Setiap pergantian scene,
lampu panggung juga berkelap-kelip dengan cepat. Lighting yang digambarkan
kelap-kelip itu sebagai penggambaran suasana yang krodit. Selain itu ditengah
kelap-kelip lampu panggung, terdengar sayup-sayup teriakan bid’ah, salah, dan
tuduhan-tuduhan lainnya. (hus)