Foto Kiai Soleh Darat/Istimewa |
Ketika kita membaca kitab-kitab karya Kiai Sholeh Darat al-Samarani, maka nuansa tasawuf sering kita temui, dalam setiap pembahasan, baik itu kitab yang berkaitan dengan tafsir, fiqih, apalagi yang bertemakan tasawuf. Oleh sebab itu, maka tidak berlebihan jika Syaikh Yasin al-Fadani menyemati gelar al-Samarani sebagai al-Ghazali al-Shaghîr. Hal tidak lain karena kapakarannya dalam menguasai kitab-kitab karya al-Ghazali, Hujjatul Islam, bapak ilmu Tasawuf dalam sejarah perkembangan Islam, terlebih sesudah tahun 500 Hijriah. Al-Samarani mengatakan, “Tidak ada ulama akhir zaman setelah tahun 500 (Hijriah) yang seperti Imam al-Ghazali, ia adalah bunganya zaman yang menghidupkan Kitabullah dan Hadits Rasulillah shallâllahu alaihi wasallam.”
Ketika ada sebagian ulama yang mengkritik isi kitab al-Ghazali, terlebih kitab Ihya Ulûm al-Dîn, maka Kiai Sholeh Darat al-Samarani dengan getol membelanya. Ia mengatakan “Tidak ada orang yang menghina kitab Ihya Ulûm al-Dîn kecuali dia akan mati dalam kesesatan dan celaka.”
Keilmuan al-Ghazali yang terpancar dalam diri Kiai Sholeh Darat al-samarani kemudian diwariskan kepada beberapa muridnya, salah satunya yang paling menonjol adalah Kiai Idris al-Jamsari, seorang mursyid tarekat Syadziliyah. Kajian kitab Ihya Ulûm al-Dîn dan al-Hikam karya as-Sakandari mendarah daging dalam dirinya, sehingga pesantren al-Jamsari dikenal sebagai pesantren suluk. Rata-rata santri yang mengaji kepada al-Jamsari adalah santri senior, sudah pernah mondok sebelumnya, salah satunya adalah Kiai Baidlowi al-Lasemi, yang merupakan salah satu khalifah al-Jamsari dalam bidang bidang tarekat.
Kiai Baidlowi al-Lasemi dikenal khusuk, ahli tasawuf. Kitab Ihya Ulûm al-Dîn dan al-Hikam mendarah daging dalam dirinya sebagaimana gurunya, yang kemudian diwarisi oleh beberapa santrinya, salah satunya adalah Kiai Maimoen Zubair. Ia mempunyai kajian kitab Ihya Ulûm al-Dîn setiap hari usai shalat shubuh (selain hari Selasa dan Jumat). Setiap khatam, maka akan ditikrar, diulang kembali dari awal, hingga khatam beberapa kali.
Ilmu Tasawuf yang diajarkan Kiai Sholeh Darat al-Samarani bersambung dengan empunya, pengarang kitab, dalam hal ini adalah Imam al-Ghazali. Al-Samarani meriwayatkan karya Imam al-Ghazali dari Syaikh Ahmad Zaini Dahlan yang meriwayatkan dari Syaikh Utsman ibn Hasan al-Dimyathi yang meriwayatkan dari Syaikh Abdullah asy-Syarqawi yang meriwayatkan dari Ustadz Muhammad ibn Salim al-Hifni yang meriwayatkan dari Syaikh al-Budairi yang meriwayatkan dari al-Mula Ibrahim al-Kurani yang meriwayatkan dari Syaikh Muhammad ibn Syarief yang meriwayatkan dari al-Faqih Ali ibn Muhammad al-Hukmi yang meriwayatkan dari al-Syihab Ahmad ibn Hajar al-Haitami yang meriwayatkan dari al-Qadhi Zakaria yang meriwayatkan dari al-Hafidz Ibnu Hajar yang meriwayatkan dari Ibnu Ishaq at-Tanukhi yang meriwayatkan dari al-Taqi Sulaiman ibn Hamzah yang meriwayatkan dari Umar ibn Karam al-Dainuri yang meriwayatkan dari al-Hafidz Abil Faraj Abdul Khalik ibn Ahmad ibn Yusuf al-Baghdadi yang meriwayatkan dari al-Imam Hujjatul Islam Abi Hamid Muhammad ibn Muhammad ib Muhammad al-Ghazali.
Amirul Ulum, Khadim Ulama Nusantara Center. Tulisan ini sebelumnya telah dibagikan di status facebook pribadi penulis.