Film dokumenter Ayat-Ayat Kendeng yang Tak Dikabarkan |
LATAR
Film ini sebenarnya sudah
dirancang sejak akhir 2015, dengan tujuan untuk memotret kondisi ekologis dan
sosiologis Kendeng secara lebih utuh.
Proses awal pun sudah dimulai pada
Juli 2016, saat secara sederhana mendokumentasikan pawai lingkungan dan penanaman
seribu pohon oleh para pegiat lingkungan di Tambakromo dan sekitarnya.
Tapi, karena beberapa faktor dan
pertimbangan, pembuatan film ini sempat tertunda. Baru pada November 2019,
prosesnya kembali dimulai. Semula kami hanya bermaksud membuat film dokumenter
pendek, untuk melaporkan kerusakan hutan dan penambangan tak berijin di wilayah
Kendeng di Pati Selatan ke BNPB.
Dari sinilah ide lama untuk
menggarap film dokumenter tersebut kembali kami hidupkan. Itu pun tak
sesederhana yang kami bayangkan. Tantangan-tantangan di lapangan, adanya
pandemi (yang juga menjangkiti salah satu kru), plus dana yang pas-pasan;
membuat seluruh prosesnya memakan waktu 14 bulan.
MASALAH
Jujur saja, pada dasarnya tak ada
yang istimewa di Kendeng. Ia tak berbeda dengan ribuan desa lain di Indonesia,
dengan tumpukan masalah dan centang perenang penanganannya. Bahkan mungkin,
lebih banyak lagi desa yang lebih buruk nasibnya.
Yang membuat Kendeng seolah
istimewa hanyalah karena ia sering menjadi berita, baik cetak mau pun audio visual.
Apalagi beberapa tahun terakhir, banyak video amatir dibuat untuk mengangkat
masalah Kendeng. Kendeng sering mendapat lampu sorot; sementara lainnya, sepi
dari pemberitaan.
Tapi, dari sini justru muncul
masalah. ‘Keistimewaan’ Kendeng di mata media ternyata harus dibayar lumayan
mahal. Banyak bias yang membuat masalah-masalah nyata di lapangan justru tak
terpahami dengan baik, apalagi berharap memperoleh jalan keluar yang tepat.
Masalah pertama muncul dari pemilihan jargon
yang tidak tepat, kalau bukan malah keliru. Jargon ‘Kendeng Lestari’ hampir pasti dibuat oleh
orang yang tidak paham kondisi nyata Kendeng, atau setidaknya oleh orang yang
tidak paham bahasa Indonesia.
Menurut KBBI, lestari artinya:
tetap seperti keadaannya semula; tidak berubah; bertahan; kekal. Kalau merujuk
ke arti ini, saat mendengar jargon tersebut orang akan langsung membayangkan
bahwa kondisi Kendeng baik-baik saja, sehingga perlu dipertahankan agar tetap
dalam keadaannya semula.
Pengambilan video lahan Kendeng yang gundul |
Padahal, pada saat jargon ini
dimunculkan, kondisi umum Kendeng jelas tidak dalam keadaan baik-baik saja. Dua
contohnya yang kasat mata adalah: hutannya sudah rusak karena penebangan liar,
dan sudah massifnya penambangan di wilayah Rembang.
Masalah kedua muncul karena
argumen untuk ‘membela’ Kendeng fokus pada masalah air. Air di Kendeng sangat
dibutuhkan oleh warga Kendeng. Ini pada dasarnya bukan argumen yang salah; tapi
karena secara diametral dipaksakan untuk berhadapan dengan kemungkinan rusaknya
sumber air oleh pabrik semen; argumen ini kemudian cenderung kebablasan dan
bergeser fokusnya, sehingga langsung tidak langsung menciptakan citra seolah
selama ini air dari Kendeng sudah mencukupi kebutuhan warga.
Kecuali kebablasan, argumen ini
sangat mungkin juga dibangun karena ketidak-lengkapan pemahaman tentang kondisi
nyata di Kendeng.
Sekadar kilas balik; sejak sebelum
hutan rusak pun, air sudah menjadi masalah bagi sebagian besar warga Kendeng.
Saat musim kemarau, bantuan air bersih untuk kebutuhan sehari-hari sangat
dibutuhkan oleh banyak desa di wilayah Kendeng.
Belum lagi untuk pertanian.
Sebagian besar mengandalkan tadah hujan. Desa-desa lain di sekitar Kendeng tak
seberuntung Sukolilo, yang pertaniannya terbantu karena Orde Baru membuat jalur
pasokan air dari Kedung Ombo. Bahkan, di Sukolilo dibangun pula mesin pompa
Tambakromo, yang dimaksud untuk memompa air ke daerah yang lebih tinggi. Meski
yang terakhir ini kemudian terbukti mangkrak.
Memang, di Kendeng ada
sumber-sumber air yang besar, yang kecuali mencukupi kebutuhan sehari-hari
warga, juga mencukupi kebutuhan untuk pertanian. Tapi, sumber semacam ini tak
banyak jumlahnya. Yang paling banyak adalah
sumber air yang sedang sampai kecil, yang hanya mencukupi kebutuhan
sehari-hari warga. Sumber-sumber air yang seperti inilah yang tak cukup digunakan
saat kemarau.
Kecuali itu, ada gradasi masalah
air antara warga yang hidup di pegunungan, di lereng mau pun di bawah.
Generalisasi tentang ketercukupan air, membuat masalah ini tak tersentuh,
apalagi diselesaikan.
Masalah ketiga adalah citra bahwa
kondisi petani Kendeng baik-baik saja. Citra ini muncul dari bangunan argumen
yang sama seperti argumen masalah air. Akibatnya juga kebablasan dan bergeser
fokusnya. Saat harus membela petani melawan korporasi, mereka malah
meromantisasikannya.
Karena argumen yang kebablasan
ini, masalah sosial-ekonomi nyata di hadapi para petani justru tak tersentuh.
Sebagaimana diketahui, rata-rata petani di wilayah Kendeng hanya memiliki tanah
seperempat hektar. Dengan tanah sebesar ini, ditambah kenyataan bahwa kebanyakan
diantaranya adalah sawah tadah hujan; bisa dibayangkan seberapa besar
penghasilan mereka.
Tak mengherankan bila tingkat
perantauan di wilayah Kendeng sangatlah tinggi; karena hanya itulah
satu-satunya jalan keluar mereka. Tingkat perantauan, terutama bagi warga yang
tinggal di pegunungan, sangat menurun justru setelah terjadinya peristiwa
penebangan liar di tahun 1998-2000. Mereka memanfaatkan ‘bekas’ hutan jati ini
untuk berladang. Dari sini kehidupan ekonomi mereka membaik.
Tentu saja, meski menguntungkan
para petani di pegunungan, tapi gundulnya hutan jelas membawa dampak buruk bagi
warga di lereng atau di bawah Kendeng. Banjir dan tanah longsor pun jadi
peristiwa tahunan.
Akibat romantisasi petani yang
terbangun dari argumen yang kebablasan, masalah ini tak pernah muncul ke
permukaan. Akiibatnya, penyelesaian
menyeluruh tentang masalah ini pun tak pernah ada juga.
Masalah keempat adalah narasi
tunggal bahwa masalah Kendeng adalah pabrik semen. Karena fokus pada narasi
ini, orang jadi mengabaikan fakta-fakta penambangan massif yang terjadi di
Rembang sejak awal tahun 2000-an. Padahal penambangan tersebut menunjukkan
jejak kerusakan yang jelas dan mencolok mata, tapi tak pernah disinggung.
Lebih ironis lagi, sejak 2016
penambangan besar-besaran juga mulai berlangsung di wilayah Sukolilo. Tapi,
sama seperti di Rembang, ini pun tak pernah menjadi pusat perhatian.
Masalah kelima adalah adalah
adanya upaya sistematis untuk mengidentifikasi gerakan penolakan sebagai
gerakan kelompok Samin. Upaya ini sebenarnya sudah dimulai sejak gerakan
penolakan pabrik semen di Sukolilo. Dalam pelacakan kami, beberapa publikasi di
luar negeri pada tahun-tahun itu, dengan jelas menyebut bahwa gerakan penolakan
pabrik semen di Sukolilo dilakukan oleh kelompok Samin.
Pada tahun 2010, salah satu
‘pembimbing’ mereka bahkan membuat diskusi di Australian National University
dengan judul Samin vs Semen. Alur dan muatan diskusi tersebut persis seperti
yang kemudian dibuat film dengan judul sama pada tahun 2015.
Dan sejak tahun 2013-2014, framing
ini bahkan mulai digaungkan oleh salah satu media besar nasional, dan diikuti
oleh media-media lain. Dalam banyak demonstrasi, dengan jelas pesertanya
berpakaian tertentu yang mudah diidentifikasi sebagai bagian dari kelompok
Samin.
Identifikasi ini bukan tanpa
akibat di masyarakat bawah. Banyak yang kemudian enggan ikut gerakan penolakan,
karena tak mau disebut sebagai bagian dari kelompok Samin. Sementara bagi
masyarakat luas yang tak mengenal Kendeng, yang terbangun adalah citra bahwa
warga Kendeng adalah masyarakat Samin. Dan, lebih jauh lagi, Kendeng adalah
tanah adat masyarakat Samin.
Masalah keenam adalah adu domba,
stigmatisasi yang dilakukan oleh kelompok yang mencoba memaksakan diri menjadi
saluran tunggal penolakan. Orang atau kelompok yang berada di luar jangkauan
mereka, segera distigma sebagai orangnya pabrik semen. Ini yang dialami oleh
banyak orang dan kelompok. Tentu saja, ini menyebabkan kekompakan unsur
perlawanan menjadi melemah.
PENUTUP
Enam masalah yang kami sebut di
atas hanyalah pintu masuk, untuk mengurai banyak masalah lain yang ada di
Kendeng.
Framing yang dilakukan oleh banyak
kepentingan; bukan hanya oleh pihak korporasi dan pemerintah; tapi juga oleh
pihak penolak, LSM-LSM dan bahkan organisasi keagamaan tertentu; terbukti
menghasilkan banyak bias dan kekaburan. Persoalan nyata di lapangan justru
terbenam ke bawah permukaan, sehingga sangat sulit diharap menemukan
penyelesaian yang komprehensif.
Yang seperti ini memang bukan khas
Kendeng, tapi umum di Indonesia, atau bahkan dunia. Karena itu kami tertarik
mengangkatnya sebagai sebuah film dokumenter. Dan dengan semangat ini pula kami
menggarapnya.
Pati, 27 Maret 2021
Daulat Kendeng, Suroso.
AYAT-AYAT KENDENG YANG TAK
DIKABARKAN
Ayat Pertama
HUTAN YANG KETLINGSUT DI TENGAH
PERCAKAPAN
Ayat Kedua
JALAN RANTAU VERSUS JALAN LADANG
Ayat Ketiga
AYUNAN ITU BERNAMA BANJIR DAN
KEKERINGAN
Ayat Keempat
PANGGUNG YANG DISULAP
Ayat Kelima
NONTON LOMBA TARIK TAMBANG
Pasal Satu
YANG UGAL-UGALAN
Pasal Dua
YANG MERAYAP DALAM SENYAP
Pengarah
ABAS ERU CAKRA
Penyelia
MUCHALI EFKA
Produser
SUROSO
Perekam Video
JONO, MIFTAHUL ULUM
YOVIE, MUHAMMAD YUSUF YOSFIAH
LABIB FUADI
SUROSO
ROI SUSANTO
KASMURI
MUHAMMAD
SABAR UTOMO
NUNUK NUGROHO
ZAINAL ABIDIN
MUHTADI
Drone
ROI SUSANTO
INDRA
MAIMUN EFENDI
Penyunting
HASAN MUSTOFA
ROI SUSANTO
Penyelaras Gambar
YOVIE, MUHAMMAD YUNUS YOSFIAH
Penyelaras Suara
YOVIE, MUHAMMAD YUNUS YOSFIAH
Penata Musik
ABDULLAH
Lagu Tema
IBU PERTIWI
Karya ISMAIL MARZUKI
Pemusik
TRIYOKO
DIDIK SUPARDI
BUDI MULIA
MAULANA
ZAINI
Pelantun Lagu
AULIA DEEPANEGARA
GENDHIS ASYIFA PUTRI
Penyelaras Musik
ARRIE NUGRAHA
Studio
SCREAM AUDIO LABS
Perujuk Pustaka
ALEIA NURUL MADINA
Dua Anak Sekolah Dasar
AULIA DEEPANEGARA
GENDHIS ASYIFA PUTRI
Produksi
DAULAT KENDENG
Ditayangkan lewat:
Kanal Youtube DG Collection
Tayang perdana setiap Ahad.
7 Maret 2021
14 Maret 2021
21 Maret 2021
28 Maret 2021
4 April 2021
11 April 2021
Jam 19.00 WIB.