ISTIMEWA |
Acara bedah buku ini berlangsung pukul 09.00 hingga selesai. Acaranya gratis dan terbuka untuk umum. Sebagai pembedah karya anak-anak muda Kudus yang bergiat di bidang literasi ini, akan hadir dua pemred media sekaligus.
Pertama, dari media cetak, adalah Zaenal Abidin yang kini menjadi pemimpin redaksi di Radar Kudus. Sebuah koran lokal terbesar di eks Karesidenan Pati, yang juga anak perusahaan Jawa Pos. Sedangkan dari media online adalah Zakki Amali yang menjadi pemimpin redaksi Serat.id.
Para pembedah juga datang dari akademisi. Dari akademisi, adalah Dr Moh Rosyid, dosen tetap IAIN Kudus yang banyak berkecimpung dalam penelitian sejarah maupun budaya. Tidak ketinggalan pula, moderator bedah buku ini akan menghadirkan penulis sekaligus peneliti asli Kudus yang banyak berkecimpung di Kota Pelajar Yogyakarta. Dia adalah Afthonul Afif, penulis buku “Ilmu Bahagia Menurut Ki Ageng Suryo Mentaram”.
Sedikit tentang isi buku Yang Asing Di Kampung Sendiri, dalam pengantar editor.
———————————————————————
Melalui
tulisan “Yang Asing di Kampung Sendiri,” Mala membawa kita
mengunjungi sebuah desa tua di Kudus yang sedang mencoba mematut-matutkan diri
menjadi sebuah desa wisata yang salah satu strateginya adalah dengan mengangkat
kembali khazanah tradisi peninggalan leluhur mereka. Mula-mula dia mengajak
kita mengenali sebuah tradisi yang sudah dijalankan secara turun-temurun selama
ratusan tahun yang tidak mungkin akan kita temukan di desa-desa lain di
seantero Kudus, ritual “nganten mubeng.”
tulisan “Yang Asing di Kampung Sendiri,” Mala membawa kita
mengunjungi sebuah desa tua di Kudus yang sedang mencoba mematut-matutkan diri
menjadi sebuah desa wisata yang salah satu strateginya adalah dengan mengangkat
kembali khazanah tradisi peninggalan leluhur mereka. Mula-mula dia mengajak
kita mengenali sebuah tradisi yang sudah dijalankan secara turun-temurun selama
ratusan tahun yang tidak mungkin akan kita temukan di desa-desa lain di
seantero Kudus, ritual “nganten mubeng.”
Tinjauan
kesejarahannya membangkitkan romantisme, membuat pembacanya tergoda untuk
membayangkan tahun-tahun awal ketika Islam baru masuk di kota ini.
Keutamaan-keutamaan dan tabu-tabu di balik tradisi dia sebutkan satu per satu,
dengan harapan mungkin dapat dijadikan sebagai bahan renungan bersama. Namun,
dia ujung kisah dia menutupnya dengan getir:
kesejarahannya membangkitkan romantisme, membuat pembacanya tergoda untuk
membayangkan tahun-tahun awal ketika Islam baru masuk di kota ini.
Keutamaan-keutamaan dan tabu-tabu di balik tradisi dia sebutkan satu per satu,
dengan harapan mungkin dapat dijadikan sebagai bahan renungan bersama. Namun,
dia ujung kisah dia menutupnya dengan getir:
“…tak
banyak tulisan yang mengabadikan cerita-cerita rakyat di daerah ini. Warga desa
yang memiliki kesadaran untuk menggali potensi-potensi desanya juga belum
banyak, untuk tidak mengatakannya tidak ada sama sekali. Mereka hanya
berlomba-lomba melaksanakan tradisi, sementara banyak situs warisan budaya
tidak tertedeksi atau bahkan hilang.”
banyak tulisan yang mengabadikan cerita-cerita rakyat di daerah ini. Warga desa
yang memiliki kesadaran untuk menggali potensi-potensi desanya juga belum
banyak, untuk tidak mengatakannya tidak ada sama sekali. Mereka hanya
berlomba-lomba melaksanakan tradisi, sementara banyak situs warisan budaya
tidak tertedeksi atau bahkan hilang.”