Para guru melakukan napak tilas di SD Wedarijaksa 1 yang menjadi peninggalan zaman kolonial Belanda |
PATI – Napak tilas sekolah pada masa kolonial dilakukan sekelompok guru untuk memeringati Hari Guru Nasional yang jatuh pada 25 November mendatang. Acara ini bertajuk napak tilas perjalanan pendidikan yang ada di Kabupaten Pati. Untuk meningkatkan semangat mengajar dewasa ini.
Acara napak tilas ini dilakukan oleh Komunitas Solidaritas Guru Merdeka (SGM). Sekolah yang sudah berdiri pada zaman kolonialisme Belanda ini adalah SD Wedarijaksa 1.
Dari berbagai literatur, sekolah tersebut diperkirakan telah berdiri sejak tahun 1918 dan tetap berdiri hingga sekarang. Salah satu gedungnya bahkan tampak masih terlihat kuno. Terlihat dari struktur bangunan hingga penggunaan gedek atau anyaman bambu untuk dindingnya. Menariknya, bangunan itu masih digunakan hingga sekarang. Meskipun di dinding bagian bawah luarnya tampak telah diperkuat.
Kepala SD Wedarijaksa 01, Sulastri menjelaskan, sebenarnya tak hanya bangunan itu saja yang masih otentik. Ada juga WC, dan pendopo kecil yang masih bangunan lama dan dipertahankan hingga saat ini.
“Namun jejak yang paling jelas adalah buku induk di sekolah ini. Terlihat di buku induk itu, awalnya sekolah ini merupakan Volksschool Wedarijaksa. Sekolah di era kolonial Belanda,” paparnya.
Namun di buku induk baru terlacak bukti catatan sejak tahun 1934. Namun hingga di tahun itu tercatat sudah ada 445 siswa yang bersekolah di sana. Di buku induk yang tertulis menggunakan bahasa Belanda itu tercatat nomor induk 445 diisi oleh siswa bernama Hono yang masuk sekolah pada 1 Agustus 1934.
Siswa itu juga dituliskan mulai bersekolah di umur 8 tahun dengan biaya sekolahnya 0,03 f. Selain itu di halaman lain di buku induk tersebut juga dituliskan merupakan Vervolgschool dengan Residentie Jepara –Rembang serta Regentschap Pati. Beruntung buku yang bisa menjadi pintu masuk penggalian sejarah itu disimpan dan dirawat dengan baik oleh sekolah.
Tak hanya sekolah di era Belanda, sekolah tersebut juga digunakan saat era kependudukan Jepang. Diantaranya tertuliskan penggunaan tahun versi Jepang dengan angka ’02 atau 2602 atau jika sama dengan tahun 1942.
“Sekolah ini pun juga digunakan menjadi Sekolah Rakyat (SR). Pernah juga disebut sekolah kapsul. Sebenarnya dari penuturan orang-orang tua, sekolah ini berdiri sejak tahun 1918 namun untuk bukti yang sudah terlacak baru tahun 1934 tersebut,” imbuhnya.
Sulastri menambahkan, sekolah itu bahkan bukan hanya untuk satu desa saja. Namun sampai siswa satu kecamatan. Terlihat dari buku induk itu terdapat siswa dari berbagai desa di Kecamatan Wedarijaksa.
“Selain buku induk kami juga masih mendapati berkas-berkas lama. Mulai dari rapor, surat keterangan pengganti ijazah hingga ijazah itu sendiri. Kami berkomitmen untuk menyimpannya dengan baik,” ungkapnya.
Semangat
Sementara itu Ari Wibowo, Ketua Komunitas Solidaritas Guru Merdeka (SGM) Pati mengatakan, dipilahnya sekolah itu untuk napak tilas lantaran mereka menyadari betapa pentingnya membangun kesadaran tentang masa lalu untuk membangkitkan masa depan.
“Kami ingin belajar dari sejarah pendidikan di masa lalu itu. Sebagaimana nasihat Bung Karno untuk tidak melupakan sejarah,” terangnya.
Komunitas SGM sendiri merupakan sekumpulan guru di Kabupaten Pati yang tergerak untuk membangkitkan semangat pendidikan. Pendidikan bagi mereka merupakan hal penting untuk membuat perubahan yang efektif membangun kesadaran menjadi sebuah bangsa.
“Kami berharap bisa mewujudkan pendidikan yang lebih baik. Kebetulan anggota kami merupakan guru penggerak yang tersebar di berbagai sekolah di Pati. Baik guru TK, SD, SMP maupun SMA dan SMK negeri maupun swasta,” imbuhnya.
“Kami ingin bersama-sama meningkatkan peran dan nilai guru. Karena guru adalah agen perubahan utama dan mendasar,” pungkasnya. (arf)