Edy Wuryanto, Anggota Komisi IX DPR RI |
Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia (DPR RI) menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan
Direksi dan Badan Pengawas Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan Nasional (BPJS
Kesehatan), kemarin Selasa (04/03/2023).
JAKARTA – Dalam rapat tersebut,
Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti melaporkan per 31 Desember
2022, cakupan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah mencapai 248,77 juta orang
atau 90,34% dari seluruh penduduk Indonesia. Perincian peserta adalah sebagai
berikut: PPU-S 17 persen, BP N&S 2 persen, PBI JK 39 persen, PBPU 18
persen, PD Pemda 16 persen, dan PPU-N 8 persen.
Anggota Komisi IX DPR RI, Edy
Wuryanto mendesak BPJS Kesehatan untuk memberikan data riil jumlah peserta
aktif Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Ia mengatakan penting untuk menentukan
berapa banyak orang yang tidak lagi berpartisipasi dalam JKN untuk memahami
berapa banyak orang yang mendapat manfaat dari JKN.
Menurut data Dewan Jaminan Sosial
Nasional (DJSN) pada bulan Agustus 2022, sebanyak 16.375.266 peserta tidak
aktif di segmen PBPU atau pekerja informal, diikuti 17.268.846 peserta tidak
aktif di segmen PBI dan 8.362.471 di Badan Usaha PPU.
“Jumlah ini cukup besar dan
harus diketahui perkembangannya setidaknya sampai Maret,’ tegasnya.
Legislator dari Fraksi PDIP ini
meminta untuk meningkatkan komunikasi dan menginformasikan kepada masyarakat
yang tidak terdaftar dalam JKN, terutama mereka yang termasuk dalam program
Penerima Bukan Gaji yang iurannya ditanggung oleh pemerintah.
“Jangan sampai ketika sudah
tidak menjadi peserta PBI tidak tahu. Lalu ketika membutuhkan untuk berobat
ternyata KIS-nya tidak laku,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia meminta agar
pemberitahuan fisik atau surel dikirim ke peserta JKN yang berisiko
dinonaktifkan untuk memastikan mereka tidak ketinggalan layanan kesehatan.
Terutama yang berada di segmen PBI, yang dibayarkan oleh pemerintah. Pada
segmen ini, iuran peserta ditanggung oleh pemerintah.
“Ini adalah masalah komunikasi. Peserta
JKN ini berhak tahu kondisi kepesertaannya,” katanya.
Prihatin
Edy mengaku prihatin atas kondisi
masyarakat miskin yang menjadi peserta segmen PBI APBN atau APBD. Tidak adanya
informasi membuat peserta tidak bisa mendapatkan layanan kesehatan. Bisa jadi
saat menjadi peserta, masyarakat miskin tersebut belum menggunakan JKN. Namun
setelah sakit, dia berharap akan mendapatkan layanan kesehatan karena sudah
dibiayai pemerintah.
“Banyak dari mereka tahu
kalau tidak jadi peserta justru ketika sudah sakit,” terangnya.
Ia
juga menyebut bahwa capaian jumlah peserta segmen PBI JK terhadap target
tidak sesuai. Untuk PBI JK targetnya
96,8 juta jiwa dengan total penerimaan iuran Rp 48,78 triliun. Namun
pada paparan Dirut BPJS Kesehatan hanya Rp 43,64 triliun. Maka dengan data
tersebut hanya 86,6 juta orang yang
menjadi peserta sekmen PBI JK.
“Ada 10 juta orang miskin
yang belum didaftarkan sebagai peserta JKN,” ungkapnya.
Salah satu alasan pemerintah
menonaktifkan peserta PBI adalah karena ketidaksesuaian NIK. Dijelaskan, ada
267.308 orang atau hanya 0,11 persen yang tidak sesuai NIK. Dari angka
tersebut, 203.713 orang telah dinonaktifkan.
Menurut Edy, bukan salah
masyarakat miskin yang bermasalah dengan NIK. Mungkin ada masalah sistematis
yang menyebabkan mereka tidak memiliki NIK.
Selain itu, perlu dicatat bahwa
peserta mandiri atau PBPU memiliki jumlah iuran yang paling sedikit, hanya Rp
12,31 triliun atau 91,61 persen dari target pendapatan.
Edy menduga banyak peserta yang
tidak mampu membayar iurannya. Oleh karena itu, perlu kebijakan yang mendukung
kemampuan masyarakat untuk membayar harus diberlakukan.
“Kita harus membuka peluang
agar masyarakat yang terjamin JKN ini makin luas,” pungkasnya. (ftw)