Buku Mushaf Nusantara |
Sebuah buku tentang mushaf Alquran diterbitkan oleh santri
asal Desa Lahar Kecamatan Tlogowungu, Pati. Buku bagus ini memuat jejak, ragam,
dan para penjaganya di Nusantara.
BUKU Mushaf Nusantara ini
merupakan buku yang pertama kali
diterbitkan Zainal Abidin Sueb. Zainal terinspirasi menulis dari sosok Zainul
Milal Bizawie, penulis yang kenal produktif menelurkan buku tentang isu-isu
Islam Nusantara yang berasal dari Kajen, Pati.
Zainal mulai menulis buku ini
sejak habis lebaran tahun 2020 lalu. Saat itu, ia tergabung sebagai penulis
kontributor di tafsiralquran.id, salah satu website keislaman yang fokus
menggali khazanah tafsir dan Al-Qur’an dengan spirit keindonesiaan.
Zainal bersyukur karena
dibebaskan oleh Pemimpin Redaksinya untuk menulis apapun yang berkaitan dengan
Mushaf Al-Qur’an di Nusantara. Atas kesempatan itulah, akhirnya ia mulai
menyusun dan merangkai berbagai tulisan yang sudah terbit baik di
tafsiralquran.id, jurnal, hingga ringkasan dari penelitian strata satunya di
UIN Syarif Hidayatullah, menjadi satu buku dengan tebal xviii+254 halaman.
Zainal menekankan, meski terdapat
istilah ilmiah yang bersinggungan dengan ulumul Qur’an dan ilmu pernaskahan
kuno (filologi), namun bukunya ditulis dengan bahasa yang ringan dan sederhana.
“Buku ini saya ibaratkan
sebagai pengantar untuk memasuki rimbunnya khazanah Mushaf Nusantara,”
kata dia.
Buku ini mencakup tiga bagian,
pertama dinamai dengan Ragam Bacaan dan Penulisan. Bagian kedua membahas Jejak
dan Khazanah Mushaf di Nusantara. Kemudian bagian ketiga tentang Para Penjaga
Mushaf Nusantara.
Bagian pertama, Zainal ingin
memperkenalkan istilah-istilah dalam ulumul Qur’an yang berkaitan dengan bacaan
dan penulisan Al-Qur’an. Ia pun menyoroti beberapa istilah yang ada di
masyarakat, namun berpotensi disalahpahami dalam mushaf Al-Qur’an.
“Misalnya tentang hizb.
Masyarakat muslim pada umumnya tahu bahwa hizb ini wirid. Namun istilah ini
dalam Mushaf Al-Qur’an dimaknai sebagai pembagian. Jadi, istilah hizb dalam
mushaf ini merupakan bagian dari ijtihad ulama untuk memudahkan para pembaca
dan penghafal Al-Qur’an agar bisa mengkhatamkan dalam waktu 60 hari atau 2
bulan,” terang dia.
Bagian kedua, Zainal ingin
menampilkan berbagai mushaf-mushaf yang beragam bentuknya sejak dahulu kala.
“Di sini saya tampilkan
banyak mushaf ya, ada mushaf dengan keterangan pegon Jawa dan kini ada di
Rotterdam Belanda, ada juga mushaf yang dianggap garapan Pangeran Diponegoro,
hingga Mushaf Pusaka yang diinisiasi Soekarno,” jelas dia.
Sementara bagian ketiga berisi
para penjaga mushaf Nusantara. Ia menyebutkan beberapa instansi dan perorangan
yang berperan penting atas kelestarian Mushaf Nusantara, seperti Lajnah
Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, peneliti Ali Akbar, hingga para penulis
Mushaf Menara Kudus Jawa Tengah.
Atas lahirnya buku ini, Zainal
ingin menyampaikan bahwa Mushaf Al-Qur’an di dunia ini memiliki keunikan
tersendiri, termasuk di Nusantara. Tentu sisi keunikan ini pada tataran
ijtihadiyah para ulama, seperti penggunaan kaligrafi hingga hiasannya.
Ia juga berupaya untuk
mengenalkan tradisi intelektual dari perspektif milenial. (hus)