PATI – “Darurat Kasih Sayang” menjadi tema utama Ngaji NgAllah Suluk Maleman edisi ke-153 yang digelar pada Sabtu (21/9/2024) malam.
Tema ini menjadi ajakan untuk merenungkan kembali situasi carut marut yang semakin menggejala dalam kehidupan kebangsaan.
Anis Sholeh Ba’asyin, penggagas Suluk Maleman, menekankan pentingnya belajar sifat kasih sayang di bulan kelahiran Nabi Muhammad.
Beliau mengingatkan bahwa kasih sayang merupakan inti kemanusiaan, dan hilangnya kasih sayang dapat menjatuhkan manusia ke titik terendah, bahkan lebih buruk dari ternak.
Tragedi kemanusiaan seperti yang terjadi di Palestina menjadi contoh nyata hilangnya kemanusiaan.
“Sayangnya, manusia bisa mengarang ribuan alasan untuk membenarkan kejahatan, padahal hati nurani seharusnya bisa menuntun mereka untuk menyadari kesalahan,” katanya saat membuka diskusi.
Faktor Hilangnya Kasih Sayang: Manusia Penetap dan Manusia Penyinggah
Anis kemudian mengidentifikasi dua kategori manusia yang berdampak besar pada penyikapan terhadap dunia: manusia penetap dan manusia penyinggah.
Manusia penetap menganggap bumi sebagai tempat tinggal permanen dan final, sementara manusia penyinggah melihat bumi sebagai tempat singgah sementara.
“Manusia penetap cenderung egois dan memosisikan dirinya sebagai pusat dan pemilik segala sesuatu di bumi,” jelasnya.
“Ego ini dapat memicu kebencian dan permusuhan, baik dalam ranah individual, sosial, maupun bernegara,” lanjutnya.
Anis mencontohkan penolakan terhadap Nabi Isa dan Nabi Muhammad yang dilatarbelakangi oleh ketakutan elite agama dan sosial akan hilangnya posisi dan kekuasaan mereka.
“Mereka lebih memprioritaskan ego sosial daripada kebenaran dan ajaran yang dibawa oleh Nabi,” tegasnya.
Anis menegaskan bahwa penentangan tersebut tak menyangkut soal kebenaran atau ajaran yang dibawa oleh Nabi, melainkan lebih pada ego sosialnya.
Ego tersebutlah yang menutup kesadaran mereka untuk melihat kemungkinan kebenaran dari ajaran yang dibawa Nabi Muhammad.
“Kenyataan bahwa elite Quraisy pernah menawarkan kompromi, sehari menyembah Allah, sehari menyembah berhala; justru menunjukkan bahwa bukan agama dan kebenaran yang mereka anggap penting, tapi mempertahankan ststus quo bagi ego sosialnya,” terangnya.
Media Sosial: Mengobarkan Kebencian dan Memudarkan Kasih Sayang
Dalam diskusi yang digelar di Rumah Adab Indonesia Mulia tersebut, Anis juga menyentil gejala hilangnya kasih sayang yang meruyak bersamaan dengan munculnya media sosial.
Orang bisa dikondisikan dan dikendalikan untuk saling membenci dan memusuhi meski tak pernah bertemu.
“Cara paling baik untuk menghindari badai kebencian dan permusuhan ini adalah dengan menghindar sajauh-jauhnya. Kalau kita benar-benar tahu dan yakin akan pengetahuannya lebih baik diam dan tidak usah ikut-ikutan,” tuturnya.
“Jangan sampai menjadi fitnah karena apa pun itu nantinya dipertanggungjawabkan di dunia dan akhirat,” sambungnya.
Media Sosial: Penyebar Kebencian dan Permusuhan
Anis juga menyoroti peran media sosial dalam menyebarkan kebencian dan permusuhan. Ia mengingatkan bahwa media sosial dapat mengondisikan dan mengendalikan orang untuk saling membenci meskipun tidak pernah bertemu.
“Cara terbaik untuk menghindari badai kebencian adalah dengan menghindar. Jika kita benar-benar yakin akan pengetahuannya, lebih baik diam dan tidak ikut-ikutan,” tegasnya.
Anis juga mempertanyakan bagaimana rakyat Indonesia yang dikenal ramah bisa tiba-tiba menjadi pemarah dan pembenci di media sosial.
Ia mengingatkan bahwa kemerdekaan Indonesia didapat atas berkat dan rahmat Allah, yang berarti kasih sayang.
“Pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa kemerdekaan kita adalah atas berkat dan rahmat Allah. Rahmat artinya adalah kasih sayang. Jika bangsa ini terus berubah menjadi pemarah dan pembenci, artinya rahmat Allah sudah kita abaikan. Kita tak akan pernah tahu apa yang terjadi lima hingga sepuluh tahun ke depan,” pungkasnya.
Diskusi Suluk Maleman ini berhasil menarik ratusan jamaah yang hadir langsung dan online. Iringan Sampak GusUran dan hadrah Syubbanul Muttaqin menambah semarak acara tersebut.
Editor: Fatwa