![]() |
Gus Mus mengingatkan tentang hikmah di balik pandemi yang melanda negeri ini. |
Sudah seharusnya saat ini umat muslim justru berterimakasih atas kondisi yang tengah terjadi. Ini menjadi bentuk teguran dari Allah. Kita harus berterimakasih karena Allah masih ngeman, kita masih ditegur. Salah satu caranya ingatlah jika kita semua ini masih bersaudara.
PATI – KH. Ahmad
Mustofa Bisri memberi pesan yang begitu mendalam saat menjadi salah satu
pengisi dalam ngaji budaya Suluk Maleman edisi ke 115 pada Sabtu (24/7/2021)
bertepatan dengan bulan purnama malam kemarin.
Kiai yang karib disapa Gus
Mus itupun mengingatkan jika pandemi ini merupakan wabah kemanusiaan, bukan
persoalan antar etnis, organisasi maupun keagamaan.
Sebagai pembukanya, Gus Mus
menjelaskan betapa Tuhan begitu memuliakan manusia yang bahkan diangkat dari
hamba menjadi penguasa di bumi ini. Hanya saja seringkali manusia terlalu sadar
sebagai penguasa sehingga membuat lupa pada kehambaannya.
“Hal itulah yang seringkali
membuat kesalahan menumpuk-numpuk. Sehingga dengan semakin banyaknya kesalahan
manusia kita akhirnya di setrap oleh Rabb atau yang bisa disebut Sang
Pendidik,” ujarnya.
Hubungan sosial yang dulu
terjalin dengan baik, sekarang ini dirasakannya hampir sudah tidak ada lagi.
Banyak yang melupakan persaudaraan antar manusia, bahkan melupakan bahwa
semuanya bersaudara dari nabi Adam.
“Namun sekarang ini sesama
orang islam, bahkan banyak ulama yang lupa dawuhnya Kanjeng Nabi, pemimpin kita
sendiri, jika kini ini bersaudara,” ujarnya.
Dawuh Gus Mus, dengan
pandemi ini manusia tengah diperingatkan jika dunia yang dikuasainya memang
enak tapi begitu menipu. Kalaupun senang dengan dunia diharapkan jangan terlalu
akrab dan harus berjarak.
“Kita semua sibuk dengan
urusan dunia. Tak berjarak dengan dunia ini. Tapi dengan keluarga, anak, bahkan
dengan Allah justru berjarak sangat jauh. Tidak jarang salat justru jadi
sambilan,” terangnya.
Oleh karena itu Gus Mus
menyebut sudah seharusnya saat ini umat muslim seharusnya justru berterimakasih
atas kondisi yang tengah terjadi. Ini menjadi bentuk teguran dari Allah.
“Kita harus berterimakasih
karena Allah masih ngeman, kita masih ditegur. Salah satu caranya ingatlah jika
kita semua ini masih bersaudara,” imbuhnya.
Pengasuh pondok pesantren
Raudlatuth Thalibin, Rembang itu juga berharap banyaknya kesalahan yang
dilakukan umat manusia bisa terbebaskan dengan pandemi kali ini.
“Karena kalau dalam pemahaman
Islam, sakit itu, ketidaknyamanan itu akan menjadi kafarat atau menjadi
pembebasan dari kesalahan yang telah dilakukan,” harapnya.
Mantan Rais Am PBNU itu
juga berharap dengan kondisi seperti sekarang ini harusnya setiap manusia dapat
menghentikan narasi kebencian. Baik dari para pemimpin, ustadz dan kiai maupun
seluruh umat manusia.
“Jangan sekali-kali orang
yang menjadi tokoh dan didengarkan orang banyak justru mengeluarkan ujaran
kebencian. Jangan menyalahkan orang lain, siapa yang mau menangani masalah yang
berat ini?,” ujarnya.
Diapun meminta agar segala
persoalan diserahkan pada ahlinya masing-masing. Persoalan kesehatan biarkan
dokter dan ahli kesehatan sementara persoalan ekonomi harus diserahkan pada
ekonom.
“Jangan sampai orang yang
tanpa latar belakang yang jelas bicara persoalan dunia, bicara dunia hingga
akhirat. Bahkan berfatwa soal surga dan neraka.
Sementara itu Anis Sholeh
Ba’asyin, penggagas Ngaji NgAllah Suluk Maleman menyebut tema “Sembuh,
Indonesia Sembuh” yang diangkat kali ini memang bukan sekadar judul melainkan
doa bersama agar bangsa ini bisa segera diberi kesembuhan. Tak hanya fisik tapi
keseluruhan.
“Lewat pandemi mari
tingkatkan gotong royong. Itulah kekuatan kita. Warga bantu warga,” ajaknya.
Dikatakannya, paling penting
saat masa pandemi seperti sekarang ini adalah membangun kegotongroyongan. Yakni
mulai ditingkat terkecil seperti RT maupun RW bahkan desa. Hal itulah yang
nantinya akan membantu masyarakat untuk bangkit kembali.
“Saat ini ada pelajaran
besar. Pandemi membuka betapa banyak kekurangan yang dimliki manusia,”
imbuhnya. (has)