DOKUMEN PRIBADI |
Pada akhirnya, kita
memang akan melakukan rutinitas semata. Menggelar hajatan pemilihan, dengan
berharap pimpinan ideal didapat. Akan tetapi yang terjadi tetaplah sama. Tak
kunjung mendapat pimpinan seperti apa yang diangankan.
memang akan melakukan rutinitas semata. Menggelar hajatan pemilihan, dengan
berharap pimpinan ideal didapat. Akan tetapi yang terjadi tetaplah sama. Tak
kunjung mendapat pimpinan seperti apa yang diangankan.
Pada tahun 2018 ini,
memang akan digelar pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di 171 daerah di
Indonesia. Ada 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten. Kita fasih menyebutnya
tahun ini sebagai tahun politik.
memang akan digelar pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di 171 daerah di
Indonesia. Ada 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten. Kita fasih menyebutnya
tahun ini sebagai tahun politik.
Yang menjadi
persoalan memang, musim pemilihan berjalan begitu-begitu
aja. Ajek. Dimuali dengan berbagai tahapan yang menyibukkan panitia, KPU.
Tak ketinggalan juga para wartawan menampilkan tiap lekuk informasi. Mulai dari
tahapan merebut apa yang disebut rekomendasi dari partai politik. Dinamika
saling tikung antar bakal calon untuk merebut rekomendasi dari sang ketua umum.
Hingga kabar mahar politik yang seperti kentut. Baunya tercium sejak lama, tapi
keberadaannya entah bagaimana.
persoalan memang, musim pemilihan berjalan begitu-begitu
aja. Ajek. Dimuali dengan berbagai tahapan yang menyibukkan panitia, KPU.
Tak ketinggalan juga para wartawan menampilkan tiap lekuk informasi. Mulai dari
tahapan merebut apa yang disebut rekomendasi dari partai politik. Dinamika
saling tikung antar bakal calon untuk merebut rekomendasi dari sang ketua umum.
Hingga kabar mahar politik yang seperti kentut. Baunya tercium sejak lama, tapi
keberadaannya entah bagaimana.
Kemudian masuk pada
tahapan pendaftaran, verifikasi, penetapan pasangan, pengundian nomor urut,
masa kampanye, debat pasangan, masa tenang, pemungutan, penghitungan, hingga
penetapan. Lalu yang menjadi persoalan kembali adalah dinamika politik yang
terjadi. Cara mendapatkan pimpinan yang masih ajek. Begitu-begitu aja.
tahapan pendaftaran, verifikasi, penetapan pasangan, pengundian nomor urut,
masa kampanye, debat pasangan, masa tenang, pemungutan, penghitungan, hingga
penetapan. Lalu yang menjadi persoalan kembali adalah dinamika politik yang
terjadi. Cara mendapatkan pimpinan yang masih ajek. Begitu-begitu aja.
Terutama yang menjadi persoalan adalah
politik uang. Dimanapun, siapapun tiap kali pemilihan diselenggarakan,
ramai-ramai menjadi yang paling lantang meneriakkan tolak. Tolak politik uang.
Tapi nyatanya saat mendekati hari H pemungutan suara, peredaran amplop-amplop
putih dengan isi lembaran rupiah yang bervariatif, menjejali setiap rumah demi
rumah.
politik uang. Dimanapun, siapapun tiap kali pemilihan diselenggarakan,
ramai-ramai menjadi yang paling lantang meneriakkan tolak. Tolak politik uang.
Tapi nyatanya saat mendekati hari H pemungutan suara, peredaran amplop-amplop
putih dengan isi lembaran rupiah yang bervariatif, menjejali setiap rumah demi
rumah.
Rakyat dipaksa
memilih pemimpinnya dari sudut pandang amplop yang diberikan para tim sukses
masing-masing calon. Tim sukses atau apa entahlah. Celakanya, perilaku yang
demikian itu dikalangan para pemilih belum juga berubah. Bahkan mulai
terang-terangan.
memilih pemimpinnya dari sudut pandang amplop yang diberikan para tim sukses
masing-masing calon. Tim sukses atau apa entahlah. Celakanya, perilaku yang
demikian itu dikalangan para pemilih belum juga berubah. Bahkan mulai
terang-terangan.
Tetapi nanti hanya
menggerutu saja bila ada kabar walikota ini terkena operasi tangkap tangan
(OTT). Bupati itu tercyduk KPK, gubernur ini terseret kasus, dan sebagainya.
Dan itu saya kira wajar terjadi, sebab, memang modal untuk duduk dikursi tak
cukup hanya selembar dua lembar rupiah bergambar Soekarno-Hatta. Maka
sewajarnya saat sudah duduk di kursi, modal mesti kembali.
menggerutu saja bila ada kabar walikota ini terkena operasi tangkap tangan
(OTT). Bupati itu tercyduk KPK, gubernur ini terseret kasus, dan sebagainya.
Dan itu saya kira wajar terjadi, sebab, memang modal untuk duduk dikursi tak
cukup hanya selembar dua lembar rupiah bergambar Soekarno-Hatta. Maka
sewajarnya saat sudah duduk di kursi, modal mesti kembali.
Kalau dilihat, memang
kita sebagai rakyat, para pemilih, punya andil melahirkan pemimpin-pemimpin
yang demikian yang kurang baik. Karena sejak proses pemilihannya pun sudah
salah. Mau bagaimana lagi ?
kita sebagai rakyat, para pemilih, punya andil melahirkan pemimpin-pemimpin
yang demikian yang kurang baik. Karena sejak proses pemilihannya pun sudah
salah. Mau bagaimana lagi ?
Kini yang perlu
dilakukan memang mengubah perilaku. Perilaku pemilih kita yang sembrono dalam
menentukan lima tahun kedepan mesti dievaluasi. Tentu sebelum semuanya
terlambat. Dalam disiplin ilmu psikologi, ada perubahan perilaku berdasar
fungsinya. Perubahan perilaku ini terjadi sebab adanya kebutuhan.
dilakukan memang mengubah perilaku. Perilaku pemilih kita yang sembrono dalam
menentukan lima tahun kedepan mesti dievaluasi. Tentu sebelum semuanya
terlambat. Dalam disiplin ilmu psikologi, ada perubahan perilaku berdasar
fungsinya. Perubahan perilaku ini terjadi sebab adanya kebutuhan.
Kebutuhan itu untuk
mendapatkan pemimpin yang baik. Agar dapat mewujudkan keadilan sosial, dan
kemakmuran bagi rakyatnya. Nah kita butuhkah mengubah perilaku? Butuhkan
mendapat pimpinan yang ideal. Atau kita hanya akan merayakan rutinitas
pemilihan pimpinan saja?
mendapatkan pemimpin yang baik. Agar dapat mewujudkan keadilan sosial, dan
kemakmuran bagi rakyatnya. Nah kita butuhkah mengubah perilaku? Butuhkan
mendapat pimpinan yang ideal. Atau kita hanya akan merayakan rutinitas
pemilihan pimpinan saja?
Memang, pemilihan pemimpin selalu lekat dan fasih diucapkan
sebagai pesta demokrasi. Tetapi saya tertarik dengan tesis Najwa Shihab dalam
diskusi “Memperebutkan Tahta Jawa”. Yang tak sepakat memilih diksi pesta
demokrasi.
sebagai pesta demokrasi. Tetapi saya tertarik dengan tesis Najwa Shihab dalam
diskusi “Memperebutkan Tahta Jawa”. Yang tak sepakat memilih diksi pesta
demokrasi.
Sebab pesta memang
identik dengan foya-foya dan bersenang-senang. Namun apakah memilih pemimpin
mesti seperti itu. Juga pesta selalu tentang menikmati hari. Sering bikin lupa
pentingnya esok hari. Demikian kata putri penulis Tafsir Al Misbah, Prof
Quraish Shihab ini. Piye ?
identik dengan foya-foya dan bersenang-senang. Namun apakah memilih pemimpin
mesti seperti itu. Juga pesta selalu tentang menikmati hari. Sering bikin lupa
pentingnya esok hari. Demikian kata putri penulis Tafsir Al Misbah, Prof
Quraish Shihab ini. Piye ?
Achmad
Ulil Albab,Warga Negara Indonesia
Ulil Albab,Warga Negara Indonesia