Untuk bisa
memahami pemberitaan dalam kitab Babad Tanah Djawi tentang sosok Pangeran Hadi
Mukmin, ada baiknya terlebih dulu kita mengetahui tradisi keilmuan Sunan
Prawoto.
Jangan lupa,
para anak Sultan Demak Bintara mendapat pendidikan dari para wali. Buku
Kesultanan Demak Bintara: Poros Maritim Nusantara Abad XV-XVI, pada bagian
ketiga: “Sunan Ampel Mahaguru Para Wali Nusantara” mengupasnya dengan
panjang-lebar.
Iya, anak-anak
raja Kesultanan Demak Bintara—sebelum mereka meneruskan kedudukan sang ayah—dikirim
untuk belajar di pusat-pusat studi keislaman yang bernama pesantren, di bawah pengawasan
para wali.
Kala itu,
pesantren adalah satu-satunya lembaga pendidikan yang mengajarkan ilmu
pengetahuan dan menjalankan proses pengkaderan. Di pesantren ini para santri
mendapat berbagai wawasan dan ilmu pengetahuan. Lihatlah proses perjalanan
Raden Fatah sebelum diangkat menjadi seorang sultan. Putra Sri Prabu Brawijaya
Maharaja Majapahit ini menempa diri dengan belajar di pesantren Ampeldenta, di
bawah pengawasan Sunan Ampel mahaguru dari para wali di Jawa pada masanya.
Para wali
pengasuh pesantren adalah pengajar agama Islam yang menguasai ilmu-ilmu agama.
Penguasaan mereka tidak terbatas pada ilmu syariat, tetapi juga ilmu tarekat
sampai pada level hakekat (makrifat), ilmu sosial kemasyarakatan, hingga
politik dan tata-negara.
Bila mewarisi
dan meneruskan tradisi keilmuan dari para gurunya, maka bisa dipastikan, para
raja Demak Bintara selain seorang yang alim (ulama) dan juga negarawan, dia
juga sekaligus sebagai guru ilmu tarekat dan hakekat.
Hingga di sini,
kita mendapatkan titik terang, Sunan Prawoto tidak lain adalah seorang mursyid
tarekat. Kesimpulan ini bukan tanpa dasar. Serat Centhini memberitakan hal ini
secara tersirat.
Ali Romdhoni,
“Sunan Prawoto: Penjaga Visi Politik MaritimKesultanan Demak Bintara”
(2021:57)