Petani sedang memane padi |
Oleh : Miftahul Munir*
Seorang bapak mengeluh karena hasil
jerih payahnya di sawah tidak kunjung menggembirakan. Biaya produksinya mahal,
sedangkan harga jual hasil panen jatuh. Bapak itu mengadu, kisah pilu semacam
itu tidak sekali-duakali terjadi. Tidak hanya padi. Hasil pertanian lain
seperti kacang tanah, jagung, hingga ketela juga sering jatuh harga panennya.
Baru-baru ini harga cabai merah juga sempat jeblok hingga membuat petaninya
frustasi. Jangankan dapat untung, balik modal saja tidak.
Cerita di atas berulang kali terdengar.
Oleh pemerintah daerah, hingga nasional sektor pertanian terus
dibangga-banggakan. “Dijual” dimana-mana. Namun belum ada terobosan yang
benar-benar serius untuk mengangkat sektor pertanian untuk menyejahterakan
masyarakatnya.
Indonesia sendiri adalah negara
agraris. Sayangnya kita belum sepenuhnya mampu mengelola anugerah alam yang
luar biasa di negeri ini. Pekerjaan sebagai petani saat ini terbilang memasuki
senjakalanya. Orang-orang tua petani, lebih banyak menjauhkan anak-anak mereka
dari pekerjaan ini, mengingat tingkat kesejahteraan yang buruk. Para orang tua
lebih mendorong anaknya untuk bekerja kantoran atau menjadi buruh pabrik.
Kondisi ini jelas terlihat dari
sensus penduduk tahun 2020, dalam rilis yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik
(BPS), diketahui jumlah penduduk Indonesia sebanyak 270 jiwa. Terjadi penurunan
populasi petani. Masyarakat petani saat ini sebanyak 33 juta jiwa. Jumlah ini
turun drastis dibanding data tahun 2018, dimana masih ada 35 juta petani di
negeri ini. Dari jumlah itu hanya 2,7 juta atau sekitar 8 persen petani muda.
Rentang usia mereka 20-39 tahun.
Berpihak
Pantas saja pekerjaan sebagai
petani ini perlahan mulai ditinggalkan. Di penghujung tahun 2019, seorang
anggota DPRD Kabupaten Pati, Jawa Tengah mengirim pesan. Dia memberi kabar,
komisinya mengusulkan rancangan peraturan daerah (perda) inisiatif tentang
perlindungan petani. “Ini kabar gembira untuk petani. Melindungi
kepentingan mereka dan yang paling utama bisa menyejahterakan masyarakat petani
yang merupakan mayoritas warga Kabupaten Pati,” tulisnya dalam pesan WhatsApp.
Sayangnya raperda tersebut tak
kunjung digarap. Sempat masuk dalam program pembuatan perda (propemperda) pada
tahun 2020, raperda tersebut harus ditunda pembahasannya.
Padahal perlindungan terhadap
petani termasuk kebutuhan mendesak. Apalagi mengingat kabupaten ini berslogan
Bumi Mina Tani. Dengan mayoritas masyarakatnya bergantung pada usaha sektor
pertanian.
Petani seringkali menjadi
“kalah-kalahan”. Menjelang musim tanam petani selalu disulitkan
dengan masalah pupuk. Mulai pupuk langka, harga yang mahal, hingga obat-obatan
lainnya. Celakanya saat musim panen tiba seringkali harga jualnya jatuh.
Jangankan untung, balik modal produksi saja tidak.
Pemerintah sepatutnya perlu hadir
langsung di tengah-tengah masyarakat petani. Memberikan perlindungan dan
kepastian usaha tani. Mulai dari memberi jalan keluar kesulitan pupuk yang tiap
tahun menjadi gejolak, biaya perawatan, pemenuhan sarpras pertanian, hingga
kepastian harga jual yang tetap menguntungkan. Misalnya membuat semacam program
resi gudang atau badan usaha pertanian yang bisa mengelola hasil panen agar
harga jualnya bisa stabil.
Sektor pertanian juga dihadapkan
pada masalah alih fungsi lahan. Sejak beberapa tahun belakangan, sejumlah
investor masuk dan mendirikan sejumlah pabrik. Industrialisasi tentu jangan
sampai mengganggu lahan pertanian produktif.
Karena itu sangat diperlukan
keberpihakan untuk para petani. Terlebih untuk petani-petani kecil di kampung-kampung.
Perlindungan sangat diperlukan. Para wakil rakyat di parlemen baik daerah
hingga nasional perlu memberi keberpihakan lebih kepada mereka. Terlebih bagi
Partai Demokrat yang dengan tegas mengusung slogan “Berkoalisi dengan Rakyat”.
Slogan ini hendaknya menjadi kerja
nyata politikus partai berlambang bintang mercy ini di lapangan. Koalisi dengan
petani (mungkin) adalah harga mati. Bukankah politik itu adalah jalan untuk
menyejahterakan masyarakat? Melalui serangkaian kebijakan-kebijakan yang
diambil dengan lobi-lobi politis dengan mengedepankan asas manfaat untuk
masyarakat luas.
Pertanian Sektor Penting
Dikutip dari Media Indonesia, data dari BPS menyebutkan sektor pertanian menjadi
sektor penyelamat perekonomian nasional karena pertumbuhannya terhadap Produk
Domestik Bruto (PDB) kuartal II 2020 sangat tinggi, di tengah PDB nasional
dan sektor lainya justru turun.
BPS mencatat nilai ekspor produk
pertanian pada April 2020 tumbuh sebesar 12,66% dan nilai ekpor pada Juni
tumbuh tingi sebesar 18,9% dibanding Mei 2020. Capaian positif bahkan
signifikan ini terjadi di tengah lesunya ekspor pada sektor lain.
BPS juga mencatat ekspor pertanian
April 2020 sebesar US$0,28 miliar atau tumbuh 12,66% dibandingkan
periode yang sama pada 2019 (YoY). Selanjutnya, sektor pertanian tetap
mencatatkan kinerja cemerlang dengan menorehkan pertumbuhan paling tinggi
dibanding sektor lainnya pada kuartal II 2020. Pada kuartal II 2020, sektor
pertanian menjadi penyumbang tertinggi pertumbuhan ekonomi nasional Indonesia
dengan pencapaian 16,24% (q to q) dan secara year on year (y-o-y) sektor
pertanian tetap berkontribusi positif yakni tumbuh 2,19%. Padahal,
pandemi covid-19 belum juga usai dan sejumlah sektor lain pun masih
cenderung terpuruk di tengah pertumbuhan ekonomi Indonesia turun sampai 4,19%
(q to q) dan 5,32% (y-o-y). Capaian sektor pertanian tersebut ditopang
subsektor tanaman pangan yang tumbuh paling tinggi yakni sebesar 9,23%
(yoy).
Melihat data dan fakta ini, sebagai
negara agraris, Indonesia mesti jeli melihat peluang ini untuk memaksimalkan
sektor pertanian tanpa meninggalkan aspek kesejahteraan bagi petani kecil di
kampung-kampung itu. Inilah jalan berkoalisi dengan rakyat yang mestinya harus
dipilih. Rajin turun ke lapangan dan dengarkan keluh kesah serta kebutuhan mereka.
*Wartawan
media online Lingkar Muria. Artikel ini diikutkan dalam lomba menulis 2 dekade Partai Demokrat tahun 2021