Masjid Kajen merupakan peninggalan Mbah Mutamakkin. |
Oleh
Ulil Abshar Abdalla
Bulan
Sura punya makna yang khusus bagi komunitas Muslim di Nusantara, termasuk Jawa.
Banyak ritual slametan dan haul yang berlangsung pada bulan ini, antara lain
haulnya seorang wali yang amat populer di kawasan Pati (Jawa Tengah) dan
sekitarnya, yaitu Kiai Mutamakkin. Atau dikenal di daerah sebagai: Mbah
Mutamakkin. Haul beliau diperingati pada tanggal 10 Sura (Muharram). Catatan
ini akan membahas sosok penting yang menjadi tokoh sentral dalam karya sastra
Jawa yang terkenal itu: Serat Cebolek.
Sebelum
melanjutkan, saya harus menyebut sebuah karya penting mengenai sosok ini yang
ditulis oleh kawan saya yang berasal dari Kajen, Pati, yaitu Zainul Milal
Bizawie. Skripsi dia yang kemudian terbit sebagai buku dengan judul “Syekh
Mutamakkin: Perlawanan Kultural Agama Rakyat” (2014) merupkan kajian terbaik hingga saat ini mengenai sosok Kiai
Mutamakkin. Yang ingin membaca lebih jauh kiprah dan pemikiran beliau, silahkan
membaca buku ini.
Baik,
saya akan masuk ke pokok masalah.
Dalam
tulisan yang beredar umum, diterangkan bahwa Kiai Mutamakkin hidup dalam rentang
waktu antara 1645-1740 M. Dengan demikian, kita bisa mengatakan, beliau hidup
dalam rentang waktu antara abad 17 dan 18. Menurut saya, cara terbaik memahami sosok Kiai Mutamakkin adalah
dengan melihat zaman ketika beliau hidup. Abad 17 dan 18 adalah fase dalam
sejarah Nusantara dengan karakternya sendiri yg khas. Saya tidak akan
menyebutkan secara detil semua karakter itu, tetapi sejumlah ciri menonjol yg
menandai era itu bisa disebutkan di sini.
Pertama,
abad 16 dan 17 adalah era ketika tradisi pengetahuan Islam mulai muncul dan
berkembang di kawasan Nusantara. Yang saya sebut dengan “tradisi
pegetahuan” di sini adalah munculnya komunitas pengetahuan yang mulai
membaca, mengkaji, dan menulis tentang ilmu-ilmu keislaman, baik dala bahasa Arab,
Melayu, atau lainnya. Beberapa ulama penting dari Nusantara yang hidup pada
zaman ini telah menulis banyak kitab, baik dalam bahasa Arab, Melayu, atau
bahasa-bahasa lokal yang lain. Contoh terbaik yang bisa disebut adalah dua nama ini:
Syekh Abdurrauf Singkel (w. 1693) dan Syekh Yusuf Makassar (w. 1699). Kedua
ulama ini bisa disebut sebagai pengarang yang lumayan produktif. Syekh
Abdurrauf, misalnya, menulis “Tarjuman al-Mustafid,” kitab tafsir
pertama yang utuh di Nusantara yang didasarkan kepada Tafsir Baidlawi.
Ciri
kedua, hubungan yang rapat dan lekat antara Hijaz (Mekah/Madinah) dan kawasan
Nusantara. Syekh Abdurrauf Singkel, misalnya, menghabiskan sekitar 19 tahun
untuk belajar di Hijaz, terutama pada seorang ulama besar di Madinah, Ibrahim
al-Kurani (w. 1690), yang merupakan murid dari ulama besar bernama Ahmad
al-Qushahi (w. 1661). Kedua tokoh ini, terutama al-Kurani, dikenal sebagai
mursyid tarekat Naqshabandiyah dan Syattariyah. Ibrahim al-Kurani sendiri
menulis kitab berjudul “Ithaf al-Dhaki” sebagai komentar (syarah)
atas risalah pendek mengenai ajaran martabat tujuh karya Ahmad bin Fadlullah
al-Burhanpuri (w. 1620) berjudul “al-Tuhfah al-Mursalah.” Sebelum
abad ke-19, jika nama Tuhfah disebut, maksudnya adalah ya kitabnya
al-Burhanpuri ini. Saking populernya.
Sekarang,
keadaan berubah. Tuhfah yang dikenal santri saat ini adalah kitab fiqh karya
Ibn Hajar al-Haitami (w. 1566). Memudarnya kepopuleran Tuhfah-kitab-tasawuf,
digantikan oleh Tuhfah-kitab-fiqh, jelas menandai perubahan corak dan kultur
pengetahuan Islam di Indonesia. Ini wilayah riset menarik yang, setahu saya,
belum pernah digarap.
Perjalanan
kapal antara Nusantara dan tanah Arab pada abad-abad itu bukanlah hal yg bisa
dilakukan oleh sembarang orang. Hanya kaum bangsawan yang memiliki ongkos yang
memadai yang bisa melakukannya. Jika bukan berasal dari keluarga bangsawan,
minimal ada keluarga bangsawan kaya yang bersedia menjadi “financier”
atau penanggung dana perjalanan. Inilah yang menjelaskan kenapa hanya
orang-orang dari kalangan bangsawan atau dekat keluarga kerajaan yang bisa
belajar di Hijaz pada era itu. Ini terjadi pada dua ulama besar Nusantara yang
namanya sudah saya singgung sebelumnya.
Dalam
cerita populer yang berkembang di masyarakat Kajen, Kiai Mutamakkin digambarkan
sebagai seorang putera bupati Tuban. Ayahnya bernama Sumohadinegara (jelas, ini
nama ningrat atau bangsawan). Nama asli Kiai Mutamakkin sendiri adalah
Sumohadiwijaya. Dalam narasi lokal yang saya dengar waktu kecil dulu di daerah
Kajen, Kiai Mutamakkin dikisahkan pernah melaksanakan haji dengan menunggang
jin. Meskipun ini hanya “mitos lokal”, tetapi bahwa Kiai Mutamakkin
pernah pergi ke Hijaz untuk melaksanakan haji, sangat masuk akal. Sudah pasti
beliau naik kapal layar, alat transportasi yang sudah amat umum pada abad-abad
itu untuk menghubungkan kawasan Nusantara dengan tanah Arab.
Kita
jangan membayangkan abad-abad itu dengan “bias modern”, seolah-olah
kawasan-kawasan yang terpisah ribuan kilometer, apalagi oleh laut, tidak
mungkin terhubung satu dari yang lain, saling terisolasi, gara-gara belum ada
pesawat terbang seperti zaman ini. Aktivitas pelayaran antara kawasan Arab dan
Nusantara sudah ramai sekali pada zaman ketika Kiai Mutamakkin hidup. Yang
hendak mengetahui bagaimana corak hubungan antara Jazirah Arab dan Asia
Tenggara, dan peradaban seperti apa yang muncul dari sana, saya persilahkan
membaca studi yang “keren” sekali dari Kirti N. Chaudhuri dalam
bukunya: “Asia Before Europe” (1990).
Mereka
yang hendak pergi ke Hijaz, tidak mengalami kesukaran asal ada ongkos. Saya
bayangkan, pada zaman itu sudah ada sejumlah orang yang sudah mulai melakukan
pekerjaan mirip “biro travel” seperti sekarang. Dengan kata lain,
keberangkatan Kiai Mutamakkin ke Hijaz untuk haji pada zaman itu, bukanlah hal
yang aneh dan mustahil. Beliau tidak perlu naik “jin” untuk melakukan
“rihlah” atau perjalanan ke tanah Arab. Kiai Mutamakkin berasal dari
keluarga bangsawan Tuban. Kita tahu, Tuban adalah salah satu pelabuhan penting
sejak era Majapahit hingga saat Kerajaan Demak berdiri (peran Tuban merosot
setelah kerajaan Jawa berpindah ke pedalaman sejak era Pajang, Mataram, dan
seterusnya). Sebagai anak seorang bupati, sudah tentu Kiai Mutamakkin muda
memiliki semua hal yang memungkinkannya untuk berangkat ke Mekah. Ayahnya sudah
pasti punya pengaruh atas jaringan para pelaut dan pedagang yang biasa
wira-wiri antara tanah Jawa dan Arab pada saat itu. Yang mau saya katakan,
keberangkatan Kiai Mutamakkin untuk haji, dan kemudian “ngaji” di
Yaman, bukanlah peristiwa “magis,” melainkan hal yang lumrah pada
zaman itu.
Ciri
ketiga, biasanya aktivitas haji pada era itu tidak berhenti sebagai kegiatan
ritual belaka. Sebagian orang yang haji akan tinggal lama di Mekah, kemudian
berkeliling ke wilayah-wilayah lain di Timur Tengah, entah untuk dagang atau
“ngaji”. Tradisi haji yang diteruskan dengan ngaji, adalah praktek
yang lazim pada era itu. Ulama-ulama masyhur dari Nusantara yang mewariskan
karya-karya besar, menempuh trayektori ini: haji-terus-ngaji. Kita jangan
berpikir tentang zaman itu dengan sudut pandang sekarang. Zaman ketika Kiai
Mutamakkin hidup adalah era “pra-paspor/visa”. Siapapun bisa
berangkat dan tinggal selama mungkin di Mekah dan Madinah, atau di negeri
manapun, asal ada ongkos. Tak ada persyaratan visa sama sekali. Geografi tradisional
sebelum lahirnya negara-bangsa modern adalah “fluid geography,”
kawasan yang cair. Orang bisa pergi ke bagian manapun di dunia, tanpa
terkendala rezim paspor/visa. Ini berbeda dengan geografi modern yang cenderung
“rigid,” kaku. Kita, saat ini, harus melintasi birokrasi
berlapis-lapis untuk pergi, berkunjung, apalagi tinggal di negeri lain. Meski
alat transportasi sudah sangat maju saat ini (hanya dalam waktu delapan jam,
seorang Muslim dari kawasan Melayu bisa “cling” sampai di Jeddah!), tetapi
“birokrasi perjalanan” saat ini jauh lebih rumit dan repot
dibandingkan dengan zaman Kiai Mutamakkin.
Dalam
riwayat yang kita dengar di daerah Kajen dan sekitarnya, Kiai Mutamakkin
dikisahkan pernah berguru kepada ulama dari Yaman bernama Muhammad Zain
al-Mizjaji. Nama ini disebut juga dalam Serat Centhini yang memuat riwayat
pengadilan atas Kiai Mutamakkin di Keraton Kartasura (pada zaman Pakubuwono
II). Dalam serat itu, ia disebut: Seh Jen. Siapa sosok ini, tidak terlalu
jelas. Melalui penelusuran saya, tidak ditemukan data yang terang mengenai Seh
Jen dari Yaman ini (saya cek melalui sejumlah kitab tarajum, antara lain Abjad
al-‘Ulum karya al-Qanuji dan al-Nafas al-Yamani karya ulama Yaman dari abad
ke-19, Abdurrahman al-Ahdal). Milal Bizawie, penulis buku tentang Kiai
Mutamakkin itu, juga sampai kepada kesimpulan serupa.
Yang
jelas adalah bahwa Seh Jen ini adalah putera dari ulama besar bernama Muhammad
Baqi al-Mizjaji yang merupakan guru dari Syekh Yusuf Makassar. Seh Jen juga
memiliki seorang putera yang terkenal: Syekh Abdul Khaliq al-Mizjaji. Yang
terakhir ini adalah salah satu dari guru Syekh Abdurrahman al-Ahdal, pengarang
kitab al-Nafas al-Yamani yang sudah saya sebut di depan. Dengan kata lain,
identitas mengenai ayah dan putera Seh Jen kita ketahui dengan cukup baik;
tetapi mengenai dirinya sendiri, kita tidak memiliki data yang terang. Dengan
data ini, kita juga menjadi tahu bahwa nama yang tepat dari guru Kiai
Mutamakkin adalah Zain ibn Muhammad al-Mizjaji, bukan Muhammad Zain Mizjaji
sebagaimana kita jumpai dalam beberapa tulisan yang beredar selama ini.
Lepas
dari siapa Seh Jen ini, kita patut bertanya: Apakah mungkin Kiai Mutamakkin
belajar kepada sosok ini? Jawabannya jelas: ya. Seperti saya katakan
sebelumnya, tradisi “haji-terus-ngaji” sudah amat umum terjadi jauh
sebelum era Kiai Mutamakkin. Pertanyaan berikutnya: Di mana Kiai Mutamakkin
belajar pada sosok ini; di Mekah atau di Yaman? Sangat mungkin bahwa beliau
belajar dengan Seh Jen ini di Yaman, mengikuti sosok lain dari Nusantara, yaitu
Syekh Yusuf Makasar. Salah satu tarekat yang menonjol di Yaman pada era itu
adalah dua: Naqshabandiyyah dan Syattariyyah. Dengan demikian, kita bisa
berasumsi bahwa Kiai Mutamakkin berbaiat pada mursyid dua tarekat itu. Hal
serupa juga terjadi pada Syekh Yusuf Makassar. Bahkan pada kasus Syekh Yusuf,
kita tahu, dia juga berbai’at pada mursyid tarekat lain, yaitu Khalwatiyyah.
Beliau bahkan lebih dikenal sebagai muryid tarekat ini di Nusantara.
Ciri
keempat dan terakhir adalah bahwa Kiai Mutamakkin hidup ketika ajaran tentang
martabat tujuh yang bersumber dari tasawuf Ibn Arabi, masih cukup populer di
kawasan Nusantara, antara lain berkat pengaruh Syekh Abdurrauf Singkel. Sangat
mungkin sekali bahwa Kiai Mutamakkin mengetahui, bahkan mempelajari, serta
memgamalkan ajaran ini. Dalam kisah yang populer di masyarakat Kajen, Kiai
Mutamakkin dikenal sebagai sosok yang amat menggemari kisah Bima dan Dewa Ruci
yang bersumber dari Serat Dewa Ruci. Dalam Serat Cebolek, hal ini dengan
gamblang juga disinggung.
Serat
Dewa Ruci jelas akan dengan mudah diapresiasi oleh mereka yang memahami dan
mengakrabi ajaran-ajaran Ibn Arabi, terutama yang telah mengalami transformasi
dan ditubuhkan menjadi ajaran martabat tujuh.
Bahwa
Kiai Mutamakkin menggemari kisah Dewa Ruci dan Bima (alias Werkudara) ini juga
menunjukkan banyak hal. Pertama, beliau memiliki apresiasi yang tinggi pada
khazanah pewayangan. Dan ini tidak mengherankan; ia adalah keturunan bangsawan
Jawa dari Tuban yang sudah pasti akrab dengan, dan menggemari kisah-kisah pewayangan.
Kedua, Kiai Mutamakkin hanya meneruskan “tradisi pengetahuan” yang
sudah ada sebelumnya yang hendak saya sebut sengan “tradisi Singkel”.
Tradisi
Singkel melambangkan suatu khazanah keislaman yang menggabungkan tiga elemen
penting: aqidah Asy’ariyyah, fiqh mazhab Syafii, dan tasawuf campuran antara
model al-Ghazali dan Ibn ‘Arabi. Para ulama Nusantara yang hidup sebelum abad
ke-20 sangat akrab dengan tradisi Singkel. Ajaran Ibnu Arabi yang menjadi
landasan teori martabat tujuh sangat digemari di kawasan Melayu pada era itu.
Sosok lain yang juga hidup sezaman dengan Kiai Mutamakkin adalah Syekh Abdul
Muhyi Pamijahan (w. 1730) dari Tasikmalaya. Sebagaimana Kiai Mutamakkin, Syekh
Abdul Muhyi juga mengikuti tradisi Singkel ini; bahkan ia sendiri adalah murid
langsung dari Syekh Abdurrauf Singkel. Sebagaimana kita tahu, Syekh Muhyi juga
menulis risalah mengenai martabat tujuh, dalam bahasa Arab, Jawa, dan Sunda.
Di
sini kita patut bertanya: apakah Kiai Mutamakkin pernah bertemu langsung dengan
Syekh Abdurrauf Singkel? Tidak ada bukti yang jelas mengenai hal ini. Tetapi
kemungkinan itu jelas ada. Perjalanan dari Tuban menuju Yaman dan Hijaz pada
zaman itu jelas melintasi Selat Malaka. Sangat mungkin Kiai Mutamakkin singgah
sejenak di Aceh dan “sowan” kepada Syekh Abdurrauf Singkel. Tetapi
jika pertemuan ini benar-benar pernah terjadi, sudah pasti tidak lama. Sebab
tujuan utama Kiai Mutamakkin adalah Hijaz. Dengan demikian, kita tidak bisa
menyebut Kiai Mutamakkin sebagai murid dari Syekh Singkel dalam pengertian yang
sesungguhnya (ditandai dengan ngaji lama). Ini berbeda dengan Syekh Abdul Muhyi
Pamijahan yang sempat “ngaji” dalam waktu yang lama dengan ulama dari
Aceh itu.
Hal
yang juga patut ditelusuri adalah: Apakah Kiai Mutamakkin meninggalkan karya
tertulis? Zainul Milal Bizawie menyebut satu kitab berbahasa Arab yang konon
ditulis Kiai Mutamakkin, berjudul “‘Arsyul Muwahhidin”. Tetapi dia,
dalam bukunya yang sudah saya sebut di atas, tidak menyebutkan bukti-bukti
“material” tentang hal ini. Dia hanya mengulas kitab ini “in
extenso,” secara panjang lebar, dengan mangasumsikan bahwa kitab ini
benar-benar ditulis oleh Kiai Mutamakkin.
Saya
sendiri tidak bisa membuktikan apapun. Tetapi kemungkinan itu tetap ada. Kiai
Mutamakkin hidup di era ketika tradisi menulis kitab (baik dalam bahasa Arab,
Melayu, atau bahasa-bahasa lokal lain) masih cukup kuat. Dalam hal
tulis-menulis mengenai ilmu-ilmu keislaman ini, harus diakui, ulama Jawa masih
kalah dibandingkan dengan ulama-ulama Sumatera, terutama pada era sebelum abad
ke-19. Dengan melihat konteks seperti ini, kita bisa mengasumsikan bahwa sangat
mungkin Kiai Mutamakkin menulis sebuah kitab. Sebagian besar ulama yang hidup
sezaman dengan Kiai Mutamakkin menulis kitab, termasuk Syekh Abdul Muhyi
Pamijahan (sebagian besar karya-karyanya “diborong” ke Belanda dan
menjadi koleksi pribadi C. Snouck Hurgronje di Leiden).
Saya
kira, salah satu muasal ketenaran Kiai Mutamakkin adalah
“konflik”-nya dengan Keraton Kartasura sebagaimana dicatat dalam
Serat Cebolek. Serat yang konon dikarang oleh R. Ng. Yasadipura I (w. 1803)
ini, mengabadikan kisah pengadilan Kiai Mutamakkin di hadapan Pakubuwono II,
raja Mataram di Kartasura saat itu. Pengadilan ini konon berlangsung pada 1725
(artinya jauh sebelum Perjanjian Giyanti pada 1755 yang memecah Kerajaan
Mataram menjadi dua itu).
Dalam
narasi yang umum kita dengar selama ini, Kiai Mutamakkin digambarkan sebagai
representasi “ulama haqiqat” yang berhadapan dengan “ulama
syariat” yang didukung oleh pihak keraton. Narasi ini juga diafirmasi oleh
Milal Bizawie dalam bukunya. Kiai Mutamakkin digambarkan sebagai penerus
tradisi “pemberontakan spiritual” yang dimulai oleh sosok-sosok
seperti Siti Jenar, Kiai Panggung, Ki Ageng Pengging, Syekh Amongraga, dll.
Meskipun
narasi ini tidak seluruhnya salah, tetapi sejumlah catatan kritis harus
dikemukakan. Menggambarkan Kiai Mutamakkin sebagai wakil dari “kiai
haqiqat” yang bersengketa dengan “kiai syariat” (dalam
pengadilan di Kartasura itu, pihak terakhir ini diwakili oleh Ketib Anom,
seorang kiai dari Kudus), menurut saya tidak seluruhnya tepat. Seperti sudah
saya jelaskan sebelumnya, Kiai Mutamakkin sejatinya hanya mengikuti
“tradisi Singkil” yang menggabungkan antara ilmu syariat dan haqiqat
sekaligus. Dalam kategori kesarjanaan modern, tradisi ini disebut sebagai
“neo-sufisme” (meskipun saya kurang terlalu setuju!). Ilmu yang
dibawa dan diajarkan oleh Kiai Mutamakkin bukan hal yang aneh dan
“menyimpang” sama sekali; tidak menyimpang dari ortodoksi. Jika kita
baca naskah “Arsy al-Muwahhidin” (dengan mangasumsikan bahwa kitab
ini benar karya Kiai Mutamakkin), tidak ada sesuatu yang “aneh” di
sana. Seluruh isi kitab ini sesuai belaka dengan ajaran Sunni yang ortodoks.
Sekali lagi, Kiai Mutamakkin mengikuti tradisi Singkil yang lazim diikuti oleh ulama
lain yang hidup pada zaman itu.
Sumber
konflik dengan Kartasura, saya kira, bukan berasal semata-mata dari pandangan
keagamaan yang dianut oleh Kiai Mutamakkin, melainkan dari sumber lain yang
lebih bersifat “politis”. Saya kira memang bisa diasumsikan bahwa
Kiai Mutamakkin memiliki simpati pada Syekh Siti Jenar, sosok kontroversial
dalam sejarah Jawa itu, terutama dalam aspirasinya untuk membangun
kekuatan-kekuatan sosial yang independen.
Dugaan
saya, Kiai Mutamakkin adalah sosok yang agak kurang suka pada “kalangan
istana”. Etos yang melandasi perjuangannya adalah membangun masyarakat
yang otonom yang tidak seluruhnya menjadi “obyek kekuasaan” dari para
kaum bangsawan dan raja, meskipun dia sendiri keturunan seorang bangsawan. Harus
diingat: dia keturunan bangsawan dari daerah pinggiran, yaitu Tuban, bukan
bangsawan dari kekuasaan yang di “pusat.”
Mungkin
juga layak dipertimbangkan pula bahwa dalam diri Kiai Mutamakkin mengalir darah
Kiai Ageng Pengging, seorang sosok yang dalam Babad Tanah Jawa disebut sebagai
pemberontak dan dihukum mati oleh Raden Patah, raja Demak yang pertama. Ia
membangun kekuasaan yang “otonom” di luar Demak, yaitu di Pengging
(daerah yang sekarang ada di sekitar Boyolali), mungkin juga karena pengaruh
Syekh Siti Jenar. Sebagaimana kita tahu, Kiai Ageng Pengging yang semula
bernama Kebo Kenanga masuk Islam karena pengaruh Syekh Siti Jenar. Saya
menyetujui tafsiran Agus Sunyoto bahwa hukuman mati yang dialami oleh Syekh
Siti Jenar bukan dipicu oleh soal akidah (semata-mata), melainkan karena ia
ingin membangun kekuatan sosial yang independen di luar struktur resmi yang
berpusat di Demak. Syekh Siti Jenar dihukum karena ia ingin membangun kekuatan
sosial yang independen. Ini jelas mengkhawatirkan bagi pemerintah pusat di
Demak yang sedang mengkonsolidasikan kekuasaan.
Saya
kira, tafsiran Agus Sunyoto ini, dalam konteks yang agak sedikit beda, bisa
juga diterapkan untuk melihat sosok Kiai Mutamakkin. Memang kita tidak melihat
pada Kiai Mutamakkin sosok seorang pemberontak seperti pada kasus Kiai Ageng
Pengging. Tetapi Kiai Mutamakkin juga bukan “kiai ngluthuk” (ini
istilah yang populer di daerah Kajen untuk menyebut kiai yang hanya tahu kitab
saja, tidak mengerti kedaan di luar) yang tidak mengerti sejarah politik di
Jawa. Dia sendiri adalah bagian dari keluarga bangsawan yang jelas memiliki
perhatian atas peta politik pada zamannya. Jika memakai istilah Kiai Sahal
Mahfud dari Kajen (beliau masih merupakan keturunan langsung dari Kiai
Mutamakkin), Kiai Mutamakkin adalah sosok yang sangat sadar tentang paradigma
“fikih sosial”. Sikap Kiai Mutamakkin, saya kira, mendekati sosok
seperti Syekh Siti Jenar: mengambil jarak dari kekuasaan politik.
Entah
sedikit atau banyak, sikap berjarak ini sudah pasti akan tercermin dalam
“tindakan sosial” dan kehidupan sehari-hari Kiai Mutamakkin. Inilah
yang direkam, misalnya, dalam “legenda populer” yang berkembang di
masyarakat Kajen dan sekitarnya: bahwa Kiai Mutamakkin memelihara dua anjing
yang ia beri nama: Abdul Kohar dan Komarudin. Cerita ini, jika benar-benar
terjadi, tidaklah melambangkan “pemberontakan” terhadap syariat,
sebab memelihara anjing bukanlah hal yang dilarang agama. Cerita ini sebetulnya
mencerminkan “pemberontakan simbolik” terhadap kekuasaan ulama yang
pro-kekuasaan. Oleh masyarakat Muslim di Kajen dan sekitarnya, kisah ini
dimaknai secara “metaforis” sebagai perlawanan “rohani”
terhadap hawa nafsu. Dengan memiliki anjing, Kiai Mutamakkin secara simbolik
berhasil menguasai hawa nafsu-nya. Demikianlah tafsiran yang populer.
Saya
mengajukan tafsiran lain yang lebih bersifat sosial-politis untuk melengkapi
tafsiran yang sudah ada. Dalam tafsiran yang lebih politis, kisah Kiai
Mutamakkin memelihara anjing itu melambangkam semacam “perlawanan
kultural” (dalam bahasa Milal Bizawie) terhadap struktur sosial-politik
yang berpusat di Kartasura saat itu.
Dalam
tafsiran seperti ini, kita harus mempertimbangkan sejumlah hal, terutama
menyangkut konteks sosial dan politik pada saat mana Kiai Mutamakkin hidup.
Misalnya: kita harus melihat sejarah hubungan antara Mataram sebagai pusat
kekuasaan baru dengan “local powers” yang ada di pinggiran;
kekuasaan-kekuasaan setempat yang ada di Jepara, Pati Tuban, Gresik, Surabaya,
dsb. Daerah-daerah ini sudah muncul sebagai pusat kekuasaan lokal jauh sebelum
era Mataram atau Demak. Bahkan sejarah mereka bertaut dengan sejarah Majapahit.
Kiai Mutamakkin hidup dalam konteks “kekuasaan pinggiran” semacam
ini. Fakta seperti itu tentu harus diperhitungkan dalam memberikan interpretasi
atas ketokohan Kiai Mutamakkin.
Yang
menarik, etos “hendak-mandiri” ini masih terus bertahan hingga saat
ini di kalangan kiai-kiai di daerah Kajen. Salah satu terjemahan etos ini
adalah sikap penolakan yang begitu keras dari madrasah Mathali’ul Falah di
Kajen untuk mengikuti kurikulum negara. Sikap ini bertahan hingga sekarang.
Kiai Abdullah Salam, salah satu keturunan dari Kiai Mutamakkin, dikenal luas di
daerah ini sebagai sosok yang tidak terlalu suka pada bantuan dari pemerintah.
Kita
bisa melihat sikap-sikap yang mengehendaki adanya jarak dan otonomi dari
pemerintah di kalangan kiai-kiai Kajen ini sebagai kelanjutan dari “etos
Mutamakkin” yang terus bertahan hingga sekarang. []