GROBOGAN – Anggota Komisi IX DPR RI, Edy Wuryanto, menegaskan bahwa penerapan standar kesehatan dan keselamatan pangan pada dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah syarat mutlak yang tidak bisa ditawar.
Pernyataan ini disampaikan Edy saat lawatannya di Desa Simo, Kecamatan Kradenan, Minggu (28/9), menanggapi perdebatan mengenai dapur mitra MBG yang belum sepenuhnya mengantongi Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS) atau Sertifikat Penjamah Makanan.
“Keamanan pangan adalah garis pertama perlindungan kesehatan anak. Kita tidak bisa kompromi terhadap standar higiene dan sanitasi dapur. Tapi cara penegakannya juga harus adil dan manusiawi,” tegas Edy.
Menurutnya, kualitas higiene dan sanitasi dapur memiliki korelasi langsung dengan kesehatan jutaan anak sekolah sebagai penerima manfaat utama program MBG.
Oleh karena itu, pemenuhan standar melalui SLHS bukan hanya kewajiban administratif sesuai Permenkes No. 14 Tahun 2021 tentang Standar Usaha Jasa Boga, melainkan tanggung jawab etik dan kesehatan publik.
Meski demikian, Edy menolak pendekatan ekstrem berupa penutupan dapur secara sepihak hanya karena keterlambatan pemenuhan sertifikat.
“Regulasi boleh wajib, tetapi pendekatan tidak boleh semata-mata administratif. Jangan sampai karena surat belum beres, dapur langsung ditutup dalam waktu satu bulan tanpa pendampingan. Itu tidak adil,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa proses penerbitan SLHS sebenarnya relatif cepat, sekitar 1-2 minggu, jika dokumen lengkap dan kondisi lapangan sesuai standar.
Untuk itu, Edy mendorong pemerintah daerah agar memberikan pendampingan teknis intensif dan fasilitasi percepatan, bukan sekadar menjatuhkan sanksi.
“Kebijakan yang bijak adalah membimbing dulu, mempercepat sertifikasi dengan sistematis, dan pengawasan ketat. Penutupan penuh tetap diperlukan, tapi itu harus jadi opsi terakhir, bukan langkah pertama,” tambahnya.
Selain aspek administratif, Edy juga meminta agar pengawasan lapangan dilakukan secara berkelanjutan.
Kontrol mutu makanan, menurutnya, tidak cukup hanya saat sertifikasi, tetapi harus dipastikan setiap hari.
“Saya minta BPOM dan dinas kesehatan dilibatkan dalam kontrol silang. Audit berkala, sidak, hingga pengujian sampel makanan perlu jadi rutinitas. Jangan tunggu ada anak keracunan baru bergerak,” tegasnya.
Edy mengingatkan bahwa program MBG adalah bagian dari pemenuhan hak dasar anak atas pangan bergizi.
Oleh karena itu, penegakan aturan jangan sampai justru menyebabkan anak kehilangan akses gizi.
“Terlalu berisiko jika dapur ditutup begitu saja. Anak-anak bisa kehilangan asupan harian yang penting untuk tumbuh kembangnya. Pelanggaran administratif jangan sampai memicu kerugian kesehatan jangka panjang,” kritik Edy.
Menutup pernyataannya, Edy kembali menegaskan dukungannya terhadap penegakan standar kesehatan dapur MBG dengan pendekatan yang tegas sekaligus membangun kapasitas mitra.
“Saya tidak menolak penegakan aturan. Tapi penegakannya harus proporsional. Negara tidak boleh hanya menagih kepatuhan, tetapi juga wajib hadir untuk membina,” pungkasnya.
Editor: Arif