Edy Wuryanto Dorong Revisi Permendag 8/2024: Batasi Impor Agar Produk Lokal Tidak Tertindas
- account_circle Fatwa Fauzian
- calendar_month 23 menit yang lalu
- visibility 1.184

Anggota DPR RI Komisi IX, Edy Wuryanto
JAKARTA – Fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK) kembali menjadi perhatian publik di tengah situasi perlambatan ekonomi nasional. Menurut catatan Kementerian Ketenagakerjaan, periode Januari hingga November telah menyaksikan 79.302 pekerja kehilangan pekerjaan – dampak langsung dari pertumbuhan ekonomi yang hanya berkisar 5 persen.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa juga menyatakan bahwa penurunan kinerja ekonomi selama 10 bulan awal 2025 telah memicu peningkatan PHK di berbagai sektor.
Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto menilai angka PHK tersebut berpotensi terus naik hingga akhir 2025 dan meluas ke tahun 2026 jika pemerintah tidak segera mengambil langkah korektif.
“Ini bukan sekadar data statistik, tetapi gambaran nyata tekanan ekonomi yang dirasakan pekerja dan dunia usaha,” ujarnya.
Menurut Edy, sektor pengolahan adalah penyumbang terbesar terhadap PHK, diikuti oleh sektor perdagangan dan pertambangan. Salah satu faktor utama yang memicu adalah Permendag Nomor 8 Tahun 2024 yang membuka pintu lebar bagi impor. Akibatnya, produk lokal – terutama di sektor tekstil, alas kaki, dan industri padat karya – kalah saing dengan barang impor yang lebih terjangkau dan diminati oleh pasar domestik.
Selain itu, penurunan upah riil pekerja sejak tahun 2018 hingga 2024 seperti yang dicatat Bank Dunia telah menekan daya beli buruh. Hal ini terlihat dari pertumbuhan konsumsi rumah tangga kuartal III 2025 yang hanya mencapai 4,89 persen, masih di bawah ambang 5 persen.
“Daya beli yang melemah berdampak pada penurunan konsumsi barang dan jasa, menekan produksi, dan berujung pada PHK lanjutan,” katanya.
Edy juga menyoroti tingginya biaya produksi yang membuat harga barang dan jasa kurang kompetitif. Kondisi ini membuat produk sulit diterima pasar, sehingga dunia usaha terpaksa melakukan efisiensi tenaga kerja.
Menurutnya, pertumbuhan ekonomi yang lemah juga memengaruhi pembukaan lapangan kerja dan kelangsungan usaha. Iklim investasi yang belum membaik menyebabkan jumlah lapangan kerja baru – terutama formal – sangat terbatas.
“Pemerintah harus segera memetakan persoalan PHK ini dan mengambil langkah konkret,” tuturnya.
Legislator Dapil Jawa Tengah III mendorong revisi Permendag 8/2024, dengan usulan pembatasan impor agar tidak menekan produk lokal, penurunan suku bunga perbankan untuk mendukung industri padat karya, pemberian insentif pajak dan harga energi, serta perpanjangan stimulus ekonomi seperti PTKP sebesar Rp10 juta.
Selain itu, Edy meminta pemerintah menyediakan pinjaman berbunga murah bagi perusahaan yang menghadapi kesulitan modal kerja, serta mendorong negosiasi ulang dengan kreditor bagi perusahaan pailit melalui dukungan atau penjaminan pembayaran utang agar usaha tetap berjalan dan lapangan kerja tidak hilang.
Dalam jangka menengah, perbaikan iklim investasi menjadi kunci untuk meningkatkan lapangan kerja. Edy mendorong pemberian insentif pajak dan kemudahan perizinan bagi investor baru, termasuk ajakan untuk mengelola aset perusahaan pailit dengan skema insentif pajak jangka panjang seperti kasus Sritex. Peran KBRI juga perlu dioptimalkan untuk mempromosikan peluang investasi di sektor potensial seperti pariwisata dan pertanian.
Edy mengingatkan bahwa peningkatan PHK akan berdampak langsung pada pengangguran terbuka dan kemiskinan. Data BPS Agustus 2025 menunjukkan bahwa pembukaan lapangan kerja hanya mencapai 1,99 juta, yang didominasi oleh sektor informal.
“Lapangan kerja formal yang sedikit dan tidak berkualitas akan memperburuk perlindungan pekerja dan meningkatkan risiko kemiskinan baru,” ujarnya.
Untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 8 persen, Indonesia membutuhkan investasi sebesar Rp13.032 triliun selama periode 2025–2029 atau rata-rata Rp2.606 triliun per tahun. Dengan asumsi setiap Rp1 triliun investasi membuka 1.600 lapangan kerja, seharusnya tercipta sekitar 4,17 juta lapangan kerja per tahun.
“Faktanya, capaian pembukaan lapangan kerja kita masih jauh dari kebutuhan tersebut,” pungkasnya.
Editor: Arif
- Penulis: Fatwa Fauzian
