Merdeka.com |
Di sebuah desa terpencil ada lima dukun yang sama-sama mengaku murid tokoh legendaris. Karena aktivitas meraka sering diekspos media, maka banyak orang kota mendatangi mereka.
Alat transportasi menuju rumah para dukun itu hanya dapat ditempuh dengan ojek. Maka, peran pengojek itu pegang peranan. Mereka bisa berperan ganda, sebagai pengojek sekaligus “EO” dan atau humas… persaingan pun tak terelakkan… Dukun yang paling banyak menawarkan fee, merekalah yang paling banyak diantar tamu.
Saat membawa penumpang dari pangkalan menuju rumah yang dituju, para pengojek pun mengunggul-unggulkan “tuan”-nya dan menjelek-jelekkan dukun yang lain.
Dikalangan para dukun pun terjadi persaingan gengsi. Bagi mereka, rugi materi karena “perang fee” untuk pengojek pun tak masalah.. yang penting reputasi tetap terjaga dan bendera tetap berkibar. Rada mirip-mirip pilkada, kayaknya.
Ahmad Masruri, Praktisi Metafisika, tinggal di Sirahan Pati