Edy Wuryanto: Jangan Sampai Transformasi Rujukan JKN Memberatkan Rumah Sakit
- account_circle Fatwa Fauzian
- calendar_month 1 jam yang lalu
- visibility 671

Anggota DPR-RI, Edy Wuryanto
JAKARTA – Anggota Komisi IX DPR RI, Edy Wuryanto, memberikan catatan terkait rencana pemerintah untuk menerapkan sistem rujukan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) berbasis kompetensi pada tahun 2026.
Meskipun menyambut baik perubahan yang diklaim Kementerian Kesehatan dapat memangkas perpindahan rumah sakit, Edy menekankan bahwa keberhasilan skema baru ini sangat bergantung pada kesiapan fasilitas layanan kesehatan.
“Jangan hanya mengubah alur. Perbaiki alat kesehatan dan kualitas tenaga kesehatan di rumah sakit yang selama ini di tipe C dan D,” ujar dia.
Ia khawatir bahwa rujukan berbasis kompetensi justru akan membuat pasien berdesakan di rumah sakit besar, seperti yang selama ini terjadi.
Politisi PDI Perjuangan itu juga menekankan bahwa negara memiliki kewajiban konstitusional untuk menyediakan fasilitas kesehatan yang layak.
“Negara tidak boleh lepas tangan. Pemerintah harus bantu rumah sakit daerah meningkatkan kompetensi, misalnya lewat pinjaman lunak berbunga 2 atau 3 persen atau insentif pajak untuk alat kesehatan,” usulnya.
Ia berharap transformasi ini tidak memberatkan rumah sakit sekaligus mewujudkan pemerataan layanan kesehatan.
Di tingkat layanan primer, Edy menyoroti masalah yang lebih mendasar, yaitu seringnya FKTP (Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama) merujuk tanpa informasi memadai tentang kondisi rumah sakit tujuan.
“Banyak puskesmas tidak tahu kuota layanan rawat jalan, jadwal praktik dokter spesialis, atau ketersediaan IGD dan ICU. Akibatnya pasien tiba, tapi ditolak karena kuota sudah penuh,” ujarnya.
Edy juga menyoroti praktik rujukan antar rumah sakit yang kerap dibebankan kepada keluarga pasien.
“Setiap RS mitra BPJS Kesehatan seharusnya punya desk pengaduan yang benar-benar bekerja membantu mencarikan RS tujuan,” tegasnya.
Ia juga menyarankan agar pemerintah memanfaatkan teknologi untuk memecahkan masalah ini.
Menanggapi klaim pemerintah bahwa sistem baru ini dapat memotong durasi rujukan, Edy berpendapat bahwa akar masalahnya terletak pada ketidaksinkronan sistem digital BPJS dengan alur internal rumah sakit.
“Saya pernah dapat aduan, ada pasien dapat slot jam 10 dari aplikasi, tapi tetap menunggu panjang karena poli tidak menyesuaikan. Kalau begini, digitalisasi hanya jadi etalase,” katanya.
Edy menegaskan bahwa transformasi rujukan tidak boleh berhenti pada istilah “kompetensi” semata.
“Esensi reformasi adalah memastikan pasien tidak tersesat, tidak dipingpong, dan tidak mengeluarkan biaya yang seharusnya ditanggung negara. Itu ukuran sederhana keberpihakan,” pungkasnya.
Editor: Arif
- Penulis: Fatwa Fauzian
