Edy Wuryanto Tegaskan Kesejahteraan Buruh Bukan Beban Pengusaha Semata
- account_circle Fatwa Fauzian
- calendar_month 2 jam yang lalu
- visibility 1.075

Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI), Edy Wuryanto
JAKARTA – Rencana penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2026 mendapatkan penolakan dari kelompok buruh. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengumumkan rencana penyelenggaraan aksi unjuk rasa di kawasan Istana Negara pada hari Jumat, 19 Desember 2025.
Mereka menentang Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Pengupahan yang dinilai kurang melibatkan serikat pekerja dan berpotensi mengurangi kedudukan prinsip kebutuhan hidup layak (KHL).
Menurut perkiraan KSPI, penerapan indeks tertentu akan membuat kenaikan UMP 2026 hanya mencapai 4 hingga 6 persen, lebih rendah dibandingkan kenaikan UMP 2025 yang sebesar 6,5 persen.
Dalam tanggapan terhadap kondisi ini, Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Edy Wuryanto menyatakan bahwa perdebatan seputar UMP 2026 perlu diperhatikan secara menyeluruh, bukan hanya dari sisi besaran persentase kenaikan, melainkan juga dari substansi perlindungan kesejahteraan pekerja sesuai dengan amanat konstitusi.
“Dalam pemaparan Menteri Ketenagakerjaan sudah disebutkan indeks kenaikan berada di rentang 0,5 sampai 0,9. Ini jelas lebih baik dibanding PP 51 Tahun 2023 yang hanya 0,1 sampai 0,3, dan sudah mengacu pada kebutuhan hidup layak serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168,” kata Edy.
Edy menjelaskan bahwa dengan asumsi tingkat inflasi sekitar 3 persen dan pertumbuhan ekonomi 5 persen, kenaikan UMP 2026 yang realistis berada pada rentang 5,5 hingga 7,5 persen.
Menurutnya, kisaran tersebut masih selaras dengan harapan buruh untuk menjaga daya beli serta mencegah penurunan upah riil. Namun demikian, politikus dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini menegaskan bahwa dasar utama penetapan UMP bukan hanya formula perhitungan, melainkan kebutuhan hidup layak pekerja di setiap daerah.
“Kalau upah minimum masih di bawah KHL, maka yang harus dijadikan patokan adalah KHL. Upah minimum harus dinaikkan hingga memenuhi kebutuhan hidup layak. Ini bagian dari amanat UUD 1945 bahwa setiap warga negara berhak atas penghidupan yang layak,” tuturnya.
Selanjutnya, Edy mengingatkan bahwa kenaikan upah secara nominal tidak akan secara otomatis meningkatkan kesejahteraan jika tidak diiringi dengan pengendalian inflasi, terutama pada komponen pangan, perumahan, dan transportasi yang menjadi kebutuhan utama bagi pekerja.
“Upah bisa naik, tapi kalau harga beras, sewa rumah, dan transportasi naik lebih tinggi, maka upah riil justru turun. Karena itu, pemerintah wajib menjaga inflasi dan memperkuat subsidi kebutuhan dasar agar daya beli buruh benar-benar terjaga,” ujarnya.
Edy juga mengajak agar kebijakan UMP diimbangi dengan dukungan bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) serta pekerja sektor informal, baik melalui peningkatan kompetensi maupun pemberian subsidi langsung untuk kebutuhan hidup pokok.
“Kesejahteraan pekerja tidak boleh hanya dibebankan pada pengusaha. Negara harus hadir melalui APBN dan APBD, terutama untuk pekerja UMKM dan informal, agar kebijakan upah tidak memperlebar kesenjangan dan benar-benar menurunkan angka kemiskinan,” pungkasnya.
Editor: Arif
- Penulis: Fatwa Fauzian
