Breaking News
light_mode

Enam Kisah Mencari Kejernihan Kendeng

  • account_circle Redaksi
  • calendar_month Ming, 28 Mar 2021
  • visibility 34

 


Film dokumenter Ayat-Ayat Kendeng yang Tak Dikabarkan

LATAR

Film ini sebenarnya sudah
dirancang sejak akhir 2015, dengan tujuan untuk memotret kondisi ekologis dan
sosiologis Kendeng secara lebih utuh.

Proses awal pun sudah dimulai pada
Juli 2016, saat secara sederhana mendokumentasikan pawai lingkungan dan penanaman
seribu pohon oleh para pegiat lingkungan di Tambakromo dan sekitarnya.

Tapi, karena beberapa faktor dan
pertimbangan, pembuatan film ini sempat tertunda. Baru pada November 2019,
prosesnya kembali dimulai. Semula kami hanya bermaksud membuat film dokumenter
pendek, untuk melaporkan kerusakan hutan dan penambangan tak berijin di wilayah
Kendeng  di Pati Selatan ke BNPB.

Dari sinilah ide lama untuk
menggarap film dokumenter tersebut kembali kami hidupkan. Itu pun tak
sesederhana yang kami bayangkan. Tantangan-tantangan di lapangan, adanya
pandemi (yang juga menjangkiti salah satu kru), plus dana yang pas-pasan;
membuat seluruh prosesnya memakan waktu 14 bulan.

MASALAH

Jujur saja, pada dasarnya tak ada
yang istimewa di Kendeng. Ia tak berbeda dengan ribuan desa lain di Indonesia,
dengan tumpukan masalah dan centang perenang penanganannya. Bahkan mungkin,
lebih banyak lagi desa yang lebih buruk nasibnya.

Yang membuat Kendeng seolah
istimewa hanyalah karena ia sering menjadi berita, baik cetak mau pun audio visual.
Apalagi beberapa tahun terakhir, banyak video amatir dibuat untuk mengangkat
masalah Kendeng. Kendeng sering mendapat lampu sorot; sementara lainnya, sepi
dari pemberitaan.

Tapi, dari sini justru muncul
masalah. ‘Keistimewaan’ Kendeng di mata media ternyata harus dibayar lumayan
mahal. Banyak bias yang membuat masalah-masalah nyata di lapangan justru tak
terpahami dengan baik, apalagi berharap memperoleh jalan keluar yang tepat.

 Masalah pertama muncul dari pemilihan jargon
yang tidak tepat, kalau bukan malah keliru. Jargon  ‘Kendeng Lestari’ hampir pasti dibuat oleh
orang yang tidak paham kondisi nyata Kendeng, atau setidaknya oleh orang yang
tidak paham bahasa Indonesia.

Menurut KBBI, lestari artinya:
tetap seperti keadaannya semula; tidak berubah; bertahan; kekal. Kalau merujuk
ke arti ini, saat mendengar jargon tersebut orang akan langsung membayangkan
bahwa kondisi Kendeng baik-baik saja, sehingga perlu dipertahankan agar tetap
dalam keadaannya semula.

Pengambilan video lahan Kendeng yang gundul

Padahal, pada saat jargon ini
dimunculkan, kondisi umum Kendeng jelas tidak dalam keadaan baik-baik saja. Dua
contohnya yang kasat mata adalah: hutannya sudah rusak karena penebangan liar,
dan sudah massifnya penambangan di wilayah Rembang.

Masalah kedua muncul karena
argumen untuk ‘membela’ Kendeng fokus pada masalah air. Air di Kendeng sangat
dibutuhkan oleh warga Kendeng. Ini pada dasarnya bukan argumen yang salah; tapi
karena secara diametral dipaksakan untuk berhadapan dengan kemungkinan rusaknya
sumber air oleh pabrik semen; argumen ini kemudian cenderung kebablasan dan
bergeser fokusnya, sehingga langsung tidak langsung menciptakan citra seolah
selama ini air dari Kendeng sudah mencukupi kebutuhan warga.

Kecuali kebablasan, argumen ini
sangat mungkin juga dibangun karena ketidak-lengkapan pemahaman tentang kondisi
nyata di Kendeng.

Sekadar kilas balik; sejak sebelum
hutan rusak pun, air sudah menjadi masalah bagi sebagian besar warga Kendeng.
Saat musim kemarau, bantuan air bersih untuk kebutuhan sehari-hari sangat
dibutuhkan oleh banyak desa di wilayah Kendeng.

Belum lagi untuk pertanian.
Sebagian besar mengandalkan tadah hujan. Desa-desa lain di sekitar Kendeng tak
seberuntung Sukolilo, yang pertaniannya terbantu karena Orde Baru membuat jalur
pasokan air dari Kedung Ombo. Bahkan, di Sukolilo dibangun pula mesin pompa
Tambakromo, yang dimaksud untuk memompa air ke daerah yang lebih tinggi. Meski
yang terakhir ini kemudian terbukti mangkrak.

Memang, di Kendeng ada
sumber-sumber air yang besar, yang kecuali mencukupi kebutuhan sehari-hari
warga, juga mencukupi kebutuhan untuk pertanian. Tapi, sumber semacam ini tak
banyak jumlahnya. Yang paling banyak adalah 
sumber air yang sedang sampai kecil, yang hanya mencukupi kebutuhan
sehari-hari warga. Sumber-sumber air yang seperti inilah yang tak cukup digunakan
saat kemarau.

Kecuali itu, ada gradasi masalah
air antara warga yang hidup di pegunungan, di lereng mau pun di bawah.
Generalisasi tentang ketercukupan air, membuat masalah ini tak tersentuh,
apalagi diselesaikan.

Masalah ketiga adalah citra bahwa
kondisi petani Kendeng baik-baik saja. Citra ini muncul dari bangunan argumen
yang sama seperti argumen masalah air. Akibatnya juga kebablasan dan bergeser
fokusnya. Saat harus membela petani melawan korporasi, mereka malah
meromantisasikannya.

Karena argumen yang kebablasan
ini, masalah sosial-ekonomi nyata di hadapi para petani justru tak tersentuh.
Sebagaimana diketahui, rata-rata petani di wilayah Kendeng hanya memiliki tanah
seperempat hektar. Dengan tanah sebesar ini, ditambah kenyataan bahwa kebanyakan
diantaranya adalah sawah tadah hujan; bisa dibayangkan seberapa besar
penghasilan mereka.

Tak mengherankan bila tingkat
perantauan di wilayah Kendeng sangatlah tinggi; karena hanya itulah
satu-satunya jalan keluar mereka. Tingkat perantauan, terutama bagi warga yang
tinggal di pegunungan, sangat menurun justru setelah terjadinya peristiwa
penebangan liar di tahun 1998-2000. Mereka memanfaatkan ‘bekas’ hutan jati ini
untuk berladang. Dari sini kehidupan ekonomi mereka membaik.

Tentu saja, meski menguntungkan
para petani di pegunungan, tapi gundulnya hutan jelas membawa dampak buruk bagi
warga di lereng atau di bawah Kendeng. Banjir dan tanah longsor pun jadi
peristiwa tahunan.

Akibat romantisasi petani yang
terbangun dari argumen yang kebablasan, masalah ini tak pernah muncul ke
permukaan.  Akiibatnya, penyelesaian
menyeluruh tentang masalah ini pun tak pernah ada juga.

Masalah keempat adalah narasi
tunggal bahwa masalah Kendeng adalah pabrik semen. Karena fokus pada narasi
ini, orang jadi mengabaikan fakta-fakta penambangan massif yang terjadi di
Rembang sejak awal tahun 2000-an. Padahal penambangan tersebut menunjukkan
jejak kerusakan yang jelas dan mencolok mata, tapi tak pernah disinggung.

Lebih ironis lagi, sejak 2016
penambangan besar-besaran juga mulai berlangsung di wilayah Sukolilo. Tapi,
sama seperti di Rembang, ini pun tak pernah menjadi pusat perhatian.

Masalah kelima adalah adalah
adanya upaya sistematis untuk mengidentifikasi gerakan penolakan sebagai
gerakan kelompok Samin. Upaya ini sebenarnya sudah dimulai sejak gerakan
penolakan pabrik semen di Sukolilo. Dalam pelacakan kami, beberapa publikasi di
luar negeri pada tahun-tahun itu, dengan jelas menyebut bahwa gerakan penolakan
pabrik semen di Sukolilo dilakukan oleh kelompok Samin.

Pada tahun 2010, salah satu
‘pembimbing’ mereka bahkan membuat diskusi di Australian National University
dengan judul Samin vs Semen. Alur dan muatan diskusi tersebut persis seperti
yang kemudian dibuat film dengan judul sama pada tahun 2015.

Dan sejak tahun 2013-2014, framing
ini bahkan mulai digaungkan oleh salah satu media besar nasional, dan diikuti
oleh media-media lain. Dalam banyak demonstrasi, dengan jelas pesertanya
berpakaian tertentu yang mudah diidentifikasi sebagai bagian dari kelompok
Samin.

Identifikasi ini bukan tanpa
akibat di masyarakat bawah. Banyak yang kemudian enggan ikut gerakan penolakan,
karena tak mau disebut sebagai bagian dari kelompok Samin. Sementara bagi
masyarakat luas yang tak mengenal Kendeng, yang terbangun adalah citra bahwa
warga Kendeng adalah masyarakat Samin. Dan, lebih jauh lagi, Kendeng adalah
tanah adat masyarakat Samin.

Masalah keenam adalah adu domba,
stigmatisasi yang dilakukan oleh kelompok yang mencoba memaksakan diri menjadi
saluran tunggal penolakan. Orang atau kelompok yang berada di luar jangkauan
mereka, segera distigma sebagai orangnya pabrik semen. Ini yang dialami oleh
banyak orang dan kelompok. Tentu saja, ini menyebabkan kekompakan unsur
perlawanan menjadi melemah.

PENUTUP

Enam masalah yang kami sebut di
atas hanyalah pintu masuk, untuk mengurai banyak masalah lain yang ada di
Kendeng.

Framing yang dilakukan oleh banyak
kepentingan; bukan hanya oleh pihak korporasi dan pemerintah; tapi juga oleh
pihak penolak, LSM-LSM dan bahkan organisasi keagamaan tertentu; terbukti
menghasilkan banyak bias dan kekaburan. Persoalan nyata di lapangan justru
terbenam ke bawah permukaan, sehingga sangat sulit diharap menemukan
penyelesaian yang komprehensif.

Yang seperti ini memang bukan khas
Kendeng, tapi umum di Indonesia, atau bahkan dunia. Karena itu kami tertarik
mengangkatnya sebagai sebuah film dokumenter. Dan dengan semangat ini pula kami
menggarapnya.

 

Pati, 27 Maret 2021

Daulat Kendeng, Suroso.

 

AYAT-AYAT KENDENG YANG TAK
DIKABARKAN

Ayat Pertama

HUTAN YANG KETLINGSUT DI TENGAH
PERCAKAPAN

Ayat Kedua

JALAN RANTAU VERSUS JALAN LADANG

Ayat Ketiga

AYUNAN ITU BERNAMA BANJIR DAN
KEKERINGAN

Ayat Keempat

PANGGUNG YANG DISULAP

Ayat Kelima

NONTON LOMBA TARIK TAMBANG

Pasal Satu

YANG UGAL-UGALAN

Pasal Dua

YANG MERAYAP DALAM SENYAP

 

Pengarah

ABAS ERU CAKRA

Penyelia

MUCHALI EFKA

Produser

SUROSO

Perekam Video

JONO, MIFTAHUL ULUM

YOVIE, MUHAMMAD YUSUF YOSFIAH

LABIB FUADI

SUROSO

ROI SUSANTO

KASMURI

MUHAMMAD

SABAR UTOMO

NUNUK NUGROHO

ZAINAL ABIDIN

MUHTADI

Drone

ROI SUSANTO

INDRA

MAIMUN EFENDI

Penyunting

HASAN MUSTOFA

ROI SUSANTO

Penyelaras  Gambar

YOVIE, MUHAMMAD YUNUS YOSFIAH

Penyelaras Suara

YOVIE, MUHAMMAD YUNUS YOSFIAH

Penata Musik

ABDULLAH

Lagu Tema

IBU PERTIWI

Karya ISMAIL MARZUKI

Pemusik

TRIYOKO

DIDIK SUPARDI

BUDI MULIA

MAULANA

ZAINI

Pelantun Lagu

AULIA DEEPANEGARA

GENDHIS ASYIFA PUTRI

Penyelaras Musik

ARRIE NUGRAHA

Studio

SCREAM AUDIO LABS

Perujuk Pustaka

ALEIA NURUL MADINA

Dua Anak Sekolah Dasar

AULIA DEEPANEGARA

GENDHIS ASYIFA PUTRI

Produksi

DAULAT KENDENG

Ditayangkan lewat:

Kanal Youtube DG Collection

Tayang perdana setiap Ahad.

7 Maret 2021

14 Maret 2021

21 Maret 2021

28 Maret 2021

4 April 2021

11 April 2021

Jam 19.00 WIB.

  • Penulis: Redaksi

Rekomendasi Untuk Anda

  • Sosialisasi Rambu Kelas Jalan di Juwana – Wedarijaksa, Anggota Dewan Heran

    Sosialisasi Rambu Kelas Jalan di Juwana – Wedarijaksa, Anggota Dewan Heran

    • calendar_month Jum, 2 Feb 2018
    • account_circle Redaksi
    • visibility 46
    • 0Komentar

    Rambu Dibenahi, Sebulan Disosialisasi Papan peringatan larangan melewati Jalan Juwana – Wedarijaksa untuk kendaraan berat seperti truk tronton di pertigaan Wedarijaksa. Lingkar Muria, PATI – Dinas Perhubungan (Dishub) Kabupaten Pati bergerak cepat guna membenahi rambu-rambu kelas jalan yang selama ini dilanggar truk besar seperti tronton. Hal ini diupayakan dengan sejumlah pembenahan rambu sejak Jumat (26/1) […]

  • Pendapat Akhir Fraksi, Masuk Agenda Pembuatan Perda

    Pendapat Akhir Fraksi, Masuk Agenda Pembuatan Perda

    • calendar_month Kam, 2 Agu 2018
    • account_circle Redaksi
    • visibility 44
    • 0Komentar

    PATI – Pemerintah mengundangkan PP Nomor 12 Tahun 2018 tentang pedoman penyusunan tata tertib DPRD provinsi, kabupaten dan kota. Hal itu membuat DPRD di tingkat daerah harus berbenah akan tata tertibnya. DPRD Kabupaten Pati telah menjadwalkan revisi tata tertib tersebut. Hal itu diketahui saat rapat internal Bapemperda Selasa (3/8/2018) lalu.  Meskipun hanya tata tertib untuk internal anggota […]

  • DPRD Pati Apresiasi Sukses Panen 10 Ton Per Hektar di Desa Mangunrekso

    DPRD Pati Apresiasi Sukses Panen 10 Ton Per Hektar di Desa Mangunrekso

    • calendar_month Jum, 13 Jun 2025
    • account_circle Fatwa Fauzian
    • visibility 62
    • 0Komentar

    PATI – Program “10 Ton per Hektar” yang digagas Bupati Pati, Sudewo, terus digencarkan untuk meningkatkan produktivitas pertanian dan kesejahteraan petani. Namun, program ini menghadapi tantangan di wilayah selatan Pati, khususnya di lahan sawah tadah hujan seperti di Kecamatan Tambakromo. Kondisi tanah yang kurang subur dan ketergantungan pada air hujan menjadi kendala utama. Anggota Komisi […]

  • Optimis Tuan Rumah Porprov 2022, Pesimis Faktor Politis

    Optimis Tuan Rumah Porprov 2022, Pesimis Faktor Politis

    • calendar_month Sen, 22 Jul 2019
    • account_circle Redaksi
    • visibility 44
    • 0Komentar

    Ketua Koni Pati PATI – Lima kabupaten di eks Karesidenan Pati, ditambah Kabupaten Grobogan yang tegabung dalam Pati Raya, optimis terpilih menjadi tuan rumah Porprov Jawa Tengah 2022 mendatang. Meski optimis, mereka masih merasa was-was unsur politis. Hal itu seperti yang diungkapkan Ketua Koni Kabupaten Pati, Edy Boentoro baru-baru ini. “Kami memang optimis sejak awal. […]

  • Keberadaan Prawoto, Dikaji dari Serat Centini

    Keberadaan Prawoto, Dikaji dari Serat Centini

    • calendar_month Sen, 2 Sep 2019
    • account_circle Redaksi
    • visibility 35
    • 0Komentar

    KAJI SEJARAH : Sejumlah warga Desa Prawoto, Kecamatan Sukolilo dan sekitarnya saat mengikuti tadarus Serat Centhini Sabtu (31/8/2019) malam lalu. PATI, SUKOLILO – Malam suro (31/8/2019) malam lalu digunakan warga Desa Prawoto dan sekitarnya untuk berdiskusi. Mereka membedah Serat Centhini yang di dalamnya memuat informasi tentang Prawoto. Lantunan kidung mengalun dari beberapa orang tua yang […]

  • IPNU IPPNU Keling Sukses Konsolidasi Kaderisasi, Organisasi, dan Administrasi

    IPNU IPPNU Keling Sukses Konsolidasi Kaderisasi, Organisasi, dan Administrasi

    • calendar_month Rab, 29 Mei 2019
    • account_circle Redaksi
    • visibility 46
    • 0Komentar

    JEPARA – Selama Ramadan, PAC IPNU dan IPPNU Keling, Jepara menggelar safari dari ranting ke ranting. Kegiatan safari Ramadan itu sekaligus untuk workshop organisasi, kaderisasi hingga administrasi. Total ada 17 ranting yang disambangi. Kegiatan safari itu dimulai pada (9/5/2019) di Masjid Baiturrohman Desa Klepun, dan ditutup kemarin (27/5/2019) di Gedung MWC NU Keling sebagai kegiatan […]

expand_less