Breaking News
light_mode

Jidhuran dan Kesederhanaan Beragama Ala Orang Desa

  • account_circle Redaksi
  • calendar_month Sen, 15 Feb 2021
  • visibility 40

Sudah lebih dari lima tahun saya
vakum dari dunia “penerbangan” (baca: rebana). Kalau tidak salah ingat, terakhir
menabuh rebana waktu kelas tiga Madrasah Aliyah. Praktis, tangan saya sudah tak
lentur lagi menabuh dengan berbagai jenis gaya dan variasi.

Semalam, saya ikut Pak Mul, bapak
saya, Jidhuran. Tempatnya di Makam Mbah Surojoyo. Bagi kami, ia lah yang menjadi
cikal bakal kehidupan di Dukuh Kebok Kidul, Desa Banjaran, Kecamatan Bangsri.

Sederhananya, Jidhuran adalah nama
lain rebana klasik. Saya masih ingat betul, semasa kecil dulu, tiap malam Kamis
selalu ada Jidhuran di kampung. Bapak saya tak pernah absen. Sepekan sekali
Jidhuran digelar di rumah-rumah anggota yang jumlahnya hanya belasan. Secara
bergiliran.

Saya selalu menantikan giliran
bapak saya jadi tuan rumah. Berbeda dengan teman-teman sebaya, waktu itu saya
sangat tertarik untuk mengamati dan menikmati setiap tabuhan dan lantunan
shalawat dari mereka. Tanpa sadar, telapak tangan saya kerap menabuh lutut
sendiri mengikuti irama yang tersaji. Bahkan, saya hampir selalu mengikutinya
hingga selesai. Yang sering kali sampai dini hari.

Ingatan saya masih baik ketika
suatu malam, nenek saya bertutur “kue kudu iso terbangan, nang. Simbah-simbahmu
biyen ahli terbangan kabeh (baca: kamu harus bisa rebana, nak. Kakek-kakekmu
dulu ahli rebana semua).” Pitutur itu masuk ke telinga saya waktu masih duduk di
bangku Madrasah Ibtidaiyah.

Memang, kata orang-orang, simbah
buyut saya dulu ahli Jidhuran dan bahkan menjadi pentolan di setiap angkatan.
Keahlian itu nampaknya terwariskan kepada bapak saya dan saya sendiri -meskipun
saya cuma bisa sebisanya-. Saya dan bapak punya kemiripan dalam hal rebana,
yaitu sama-sama menguasai hampir semua tabuhan piranti rebana. Tapi ada satu
kesamaan yang cukup aneh, kami sama-sama tak berbakat jadi vokal. Mungkin Tuhan
sengaja membuat pita suara kami sama.

Dulu, grup Jidhuran bapak sering
diundang dalam hajatan-hajatan. Baik di kampung sendiri atau tetangga desa.
Seperti pernikahan atau khitanan. Bahkan, tak jarang ada orang yang sampai
bernadzar untuk menghadirkan grup Jidhuran itu saat punya hajatan.

Kembali ke Jidhuran malam tadi.
Karena sudah lima tahun lebih vakum, tangan saya jadi sedikit keram. Beruntung
saya masih sanggup menabuh sampai tiga judul shalawat. Perlu dicatat, Jidhuran
sangatlah berbeda dengan rebana-rebana modern. Saya juga cukup lama mempelajari
beberapa model rebana. Rebana modern salah satunya. Sekilas, tabuhan di
Jidhuran memang sederhana. Tapi sebenarnya rumit. Ditambah lagi dengan ukuran
dan berat rebana yang jauh berbeda dengan rebana kekinian.

Bisa jadi, orang-orang sekarang
enggan mempelajari rebana klasik macam Jidhuran itu. Sebab, selain rumit,
Jidhuran terkesan kuno dan kampungan. Tentu berbeda dengan rebana kekinian yang
lebih hits dan digandrungi kawula muda.

Tadi malam saya menjadi yang paling
muda. Lainnya sudah sepuh. Sepanjang ingatan saya, mereka tak pernah berubah
sejak dulu. Setiap kali Jidhuran, mereka hanya mengenakan pakaian sopan
seadanya. Yang bahkan, tak jarang sarung atau baju mereka sudah lusuh dan
berlubang akibat terkena bara kretek.

Mereka tak memikirkan busana. Yang
penting bisa Jidhuran dan bershalawat. Kitab-kitabnya bahkan sudah lusuh dan
hampir rusak. Mereka tak peduli. Yang penting masih bisa dibaca. Toh, sebagian
besar kalimat-kalimat di kitab itu sudah berada di luar kepala mereka.

Saat melafalkan kalimat-kalimat
maulid pun, mereka tak fasih-fasih betul. Huruf “u”, misalnya, yang mestinya
harus dilafalkan “u”, terkadang bunyi yang keluar dari mulut mereka mirip
dengan huruf “o”. Dalam hal ini, saya sangat kagum. Dengan keterbatasan mereka
dalam melafalkan huruf-huruf Arab, mereka seperti tak mempedulikan apakah itu
salah atau benar. Tapi, ada yang lebih penting dari itu. Yaitu kemurnian atas
esensi makna setiap kalimat. Kalaupun mereka tak sepenuhnya mengerti maknanya,
mereka yang dengan penuh semangat melafalkan pujian-pujian kepada Allah dan
Kanjeng Nabi Muhammad SAW, itu dengan kemurnian cinta.

Saya jadi semakin kagum dengan cara
para wali terdahulu -seperti Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga- yang dengan penuh
cinta membersamai orang-orang kampung di Jawa untuk mencintai Islam.

Usai Jidhuran, mereka tak langsung
pulang. Kami mendengarkan pitutur-pitutur dari salah satu kiai kampung, yang
kebetulan Pak Dhe saya. Situasi itu sama sekali tak seperti kajian-kajian
agama. Antara kiai dan jama’ah saling ngobrol.

Jangan berpikiran mereka
mengobrolkan cara beragama orang lain, busana muslim-muslimah, trending topik
di media sosial, bisnis MLM, politik negara, atau Omnibus Law. Tidak! Mereka
hanya membicarakan hal-hal sederhana dari keseharian hidup. Seperti saling bertanya
kabar, keadaan tanaman dan sawah yang sedang digarap, atau membicarakan kondisi
piranti Jidhuran yang mulai usang. Bahkan, sebagai petani, mereka sama sekali
tak menyinggung kelangkaan atau naiknya harga pupuk. Mereka memang hebat.

Obrolan demi obrolan makin gayeng.
Saat makanan yang disuguhkan adalah pisang rebus dan kopi hitam hasil tumbukan
sendiri. Bisa jadi inilah yang membuat sebagian orang Islam kampung lebih
memilih berislam dengan cara “orang kota”. Tentu saja, kopi dan rebusan pisang
itu sangat tidak instagramabel untuk menunjukkan keislaman hari ini. Apalagi
busana mereka yang lusuh dan sudah berlubang. Ditambah tak ada obrolan tentang
hal-hal kekinian. Ah! Orang kampung memang begitu dari dulu…

Tapi, dengan masih adanya Jidhuran,
perkumpulan-perkumpulan orang Islam di kampung, dan tetap adanya kiai kampung,
kok, keyakinan saya bahwa agama dan bangsa ini masih akan tetap baik-baik saja.
Gitu.

Faqih Mansyur, penulis adalah alumni IAIN Kudus, penikmat kesenian dan kebudayaan lokal di Jepara, tulisan ini sebelumnya sudah
dimuat di facebook.  

  • Penulis: Redaksi

Rekomendasi Untuk Anda

  • Berburu Menu Buka di Kampung Ramadan Tjempaka Dukuhseti

    Berburu Menu Buka di Kampung Ramadan Tjempaka Dukuhseti

    • calendar_month Rab, 8 Mei 2019
    • account_circle Redaksi
    • visibility 39
    • 0Komentar

    PATI – Bazar berkonsep kampung ramadan digelar di Desa Ngagel Kecamatan Dukuhseti. Berbagai kuliner khas Ramadan dan aneka produk masyarakat dijajakan di lokasi tersebut. Kampung Ramadan sendiri buka mulai pukul 15.00 hingga waktu buka puasa tiba. Kemudian tutup sampai salat tarawih, dan buka kembali sampai pukul 22.00. Selain kuliner, hiburan juga disediakan panitia. Seperti hiburan […]

  • Angin Segar, Persijap Jepara Siap Jamu Adhyaksa FC di Stadion GBK Jepara

    Angin Segar, Persijap Jepara Siap Jamu Adhyaksa FC di Stadion GBK Jepara

    • calendar_month Kam, 2 Jan 2025
    • account_circle Arif Mohamad
    • visibility 53
    • 0Komentar

      JEPARA – Kabar baik untuk para pendukung Persijap Jepara. Pada laga krusial untuk menentukan kelolosan ke babak 8 besar Liga 2, Persijap akan kembali bermain di Stadion Gelora Bumi Kartini (GBK) setelah renovasi selesai. Rencananya, Persijap akan menjamu Adhyaksa FC di Stadion GBK pada Minggu, 5 Januari 2025. Renovasi stadion yang didanai Kementerian PUPR […]

  • Jembul Tulakan: Ritual Syukur Bumi Warisan Ratu Kalinyamat Ikon Wisata Jepara

    Jembul Tulakan: Ritual Syukur Bumi Warisan Ratu Kalinyamat Ikon Wisata Jepara

    • calendar_month Sel, 15 Jul 2025
    • account_circle Fatwa Fauzian
    • visibility 86
    • 0Komentar

    JEPARA – Ribuan warga Desa Tulakan, Kecamatan Donorojo, Kabupaten Jepara, memadati jalanan pada Senin (14/7/2025) untuk menyaksikan Jembul Tulakan, sebuah tradisi yang digelar setiap tahun pada hari Senin Pahing bulan Apit. Kemeriahan dan antusiasme masyarakat menjadi bukti bahwa tradisi ini masih sangat hidup dan relevan. Bupati Jepara, Witiarso Utomo, yang hadir bersama Wakil Bupati dan […]

  • Polresta Pati Gelar Ramp Check Jelang Mudik Lebaran 2025

    Polresta Pati Gelar Ramp Check Jelang Mudik Lebaran 2025

    • calendar_month Jum, 21 Mar 2025
    • account_circle Fatwa Fauzian
    • visibility 58
    • 0Komentar

    PATI – Menjelang musim mudik Lebaran 2025, Polresta Pati bersama instansi terkait menggelar pemeriksaan kelaikan kendaraan umum atau “Ramp Check” di Terminal Kembang Joyo Pati. Kegiatan yang berlangsung Rabu (19/3/2025) pukul 15.30 WIB ini melibatkan Satlantas Polresta Pati, Dinas Perhubungan (Dishub) Kabupaten Pati, Dishub Provinsi Jawa Tengah, BPSPP Wilayah II, dan Jasa Raharja Kabupaten Pati. […]

  • Lomba Cipta Menu B2SA: Solusi Kreatif Atasi Stunting di Pati

    Lomba Cipta Menu B2SA: Solusi Kreatif Atasi Stunting di Pati

    • calendar_month Kam, 17 Jul 2025
    • account_circle Fatwa Fauzian
    • visibility 56
    • 0Komentar

    PATI – Ketua TP-PKK Kabupaten Pati, Atik Kusdarwati Sudewo, membuka Lomba Cipta Menu B2SA (Beragam, Bergizi, Seimbang, dan Aman) Non Beras Non Terigu Berbahan Dasar Ikan di Pendopo Kabupaten Pati kemarin, Rabu (16/7/2025) Lomba yang diikuti peserta dari seluruh kecamatan ini bertujuan meningkatkan konsumsi ikan dan membentuk pola makan sehat. Dalam sambutannya, Atik menekankan pentingnya […]

  • Bulog Pati Beli Gabah Petani Sesuai HPP, Jaga Stabilitas Harga dan Stok Pangan

    Bulog Pati Beli Gabah Petani Sesuai HPP, Jaga Stabilitas Harga dan Stok Pangan

    • calendar_month Sel, 11 Feb 2025
    • account_circle Fatwa Fauzian
    • visibility 53
    • 0Komentar

    PATI – Perum Bulog Kantor Cabang Pati aktif melakukan pengecekan lahan persawahan yang siap panen dan langsung melakukan pembelian gabah beras petani. Hal ini sesuai dengan Keputusan Kepala Badan Pangan Nasional Nomor 15 Tahun 2025 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Pengadaan Gabah Kering Panen dan Beras untuk Cadangan Beras Pemerintah. Pemimpin Cabang Bulog Pati, Nur […]

expand_less