Tawuran, dan Cara Anak Mengisi Kebosanan
- account_circle Redaksi
- calendar_month Sen, 30 Jul 2018
- visibility 28
yang baru gede. Masih berseragam, mereka pelajar setingkat SMP. Para pelajar
yang semuanya laki-laki ini bergerombol di sebuah warung di dekat SPBU. Saat
diamankan, salah satu dari mereka kedapatan membawa satu buah clurit dan juga
regam.
sudah tercium aparat dan akhirnya mereka disikat, lalu diamankan ke Mapolres.
Guru dari sekolah bersangkutan diundang. Begitu pula para orang tua pelajar
belia itu.
beberapa sekolahan memang hendak menggelar hajat tawuran. Cerita yang
berkembang, sejak lama beberapa sekolahan memang pelajarnya kerap baku hantam. Aksi
tawuran boleh dikatakan sebagai aksi turun temurun, warisan dari kakak kelas
mereka bertahun-tahun. Ironis.
diajak. Kemudian kesempatan lain ada tawuran, adik kelasnya diajak lagi. Jadi
ada semacam regenerasi dalam dinamika tawuran pelajar yang terjadi. Dengan
begitu, satu sekolah dengan sekolah lain punya sisi emosional saling balas yang
kuat sekali di kalangan siswanya.
psikolog asal Swiss yang mengembangkan teori perkembangan kognitif. Kaum muda
termasuk para pelajar, termasuk dalam tahap pemikiran formal-operasional (formal-operational thought).
alternatif pemecahan masalah hidup sehari-hari. ”Kini, ia makin menyadari
keberadaan masalah-masalah disekelilingnya. Salah satunya, bagaimana
membuktikan kesetiakawanan.”
terjadi gesekan yang berujung pada aksi tawuran. Konsekuensi logis sesuai
perkembangan kognitifnya itu mengatakan, supaya ia mengikuti segala aturan
kelompok, walaupun aturan kelompok itu negatif, misalnya tawuran. Ini adalah
salah satu bentuk uji coba pemecahan masalah untuk anak susia mereka.
beberapa faktor, yang mana faktor itu cukup penting diperhatikan. Selama ini
yang sering terjadi tawuran merupakan pelajar dalam tanda kutip, sekolahnya
yang kurang kegiatan, atau ada kegiatan tapi kurang menarik bagi siswanya. Hal
ini dibenarkan salah satu polisi saat saya tanyakan tentang faktor dari sekolah
itu sendiri.
katanya singkat. Hal ini bisa jadi benar, sebab rata-rata usai sekolah para
pelajar yang sering terlibat tawuran ini menghabiskan waktu kongkow-kongkow
dengan temannya, begitupun saat ditangkap, mereka sedang kongkow di sebuah
warung.
hantam sangat mudah sekali.
penyedia jasa pendidikan, dan berkewajiban mendidik siswanya, tentu harus ikut
bertanggung jawab meminimalisir terjadinya aksi tawuran ini.
Biasanya ada ekstrakurikuler, tapi entah sebagaimana pengalaman saya sekolah
dulu, tak jarang ektrakurikuler hanya kegiatan rutinitas membosankan. Hingga
banyak anak yang memilih kabur, dan bermain di luar sekolah hingga aktivitasnya
tak terkontrol, lalu pada akhirnya terlibat aksi tawuran antar pelajar.
harus digalakkan. Guru harus mampu menjadikan sekolah sebagai tempat yang
menyenangkan. Kegiatan-kegiatan di luar pelajaran mesti dibuat sevariatif
mungkin, agar anak kerasan berkegiatan di sekolah. Baik itu kegiatan olahraga
maupun seni.
disalahkan, kita juga patut berbenah diri. Polisi, guru, terlebih orang tua itu
sendiri. Jika dilihat dari beberapa hal yang telah terjadi, tawuran pelajar
menurut saya memang cara terbaik anak mengisi kebosanan. Sebab di sekolahan
guru belum menyediakan ruang yang menyenangkan bagi mereka. Tak salah mereka
mengaktualisasikan diri unjuk kebolehan adu jotos di arena bebas. Begitu. (Achmad Ulil Albab)
- Penulis: Redaksi

