Forum Lintas Iman Grobogan Gali Keterkaitan Perempuan, Alam, dan Keadilan Ekologis dalam Diskusi Rutin
- account_circle Fatwa Fauzian
- calendar_month 4 jam yang lalu
- visibility 151

Forum Lintas Iman Grobogan
GROBOGAN – Forum Lintas Iman Grobogan kembali menggelar diskusi rutin bulanan, kali ini mengangkat tema “Perempuan, Alam, dan Perjuangan.” Pertemuan ketiga ini menyoroti bagaimana peran perempuan, kearifan lokal, dan tata ruang kota yang berkelanjutan dapat menjadi kunci dalam menghadapi krisis lingkungan yang semakin nyata.
Bunda Rita, sebagai salah satu panelis, membuka diskusi dengan mengajak seluruh peserta untuk merenungkan kembali hubungan manusia dengan alam.
“Kita perlu berani mengambil jeda, merenungkan kembali bagaimana setiap tindakan kita berdampak pada alam. Banjir yang berulang kali melanda Purwodadi adalah alarm bagi kita semua, bahwa ada yang salah dalam cara kita memperlakukan lingkungan,” ungkapnya.
Pendeta GKI, Rita Dwi Lestari, menambahkan bahwa akar masalah ini terletak pada sistem ekonomi yang berorientasi pada keuntungan semata
“Kapitalisme telah mendorong eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran, tanpa mempedulikan dampaknya bagi lingkungan dan masyarakat. Kita harus kembali pada nilai-nilai kearifan lokal, di mana alam dipandang sebagai bagian dari kehidupan yang harus dijaga dan dihormati. Perempuan, dengan kepekaan dan kemampuannya dalam merawat kehidupan, memiliki peran penting dalam mewujudkan perubahan ini,” jelasnya.
Ki Atma, Pendeta GKJ, mengingatkan pesan mendalam dari aktivis lingkungan Kendeng, Kang Gunretno: “Ibu Bumi sampun Maringi, Ibu bumi Ojo dilarani, ibu Bumi Kang Ngadili.”
Pesan ini mengandung makna bahwa alam memiliki hukumnya sendiri, dan manusia harus hidup selaras dengannya agar tidak menuai bencana.
Wahyu Dwi Pranata, aktivis lingkungan dari Grobogan Maju, menyoroti pentingnya tata ruang kota yang berkelanjutan dalam mencegah banjir di Purwodadi.
“Purwodadi berada di daerah cekungan, sehingga rentan terhadap banjir jika tidak dikelola dengan baik. Sistem drainase yang buruk, alih fungsi lahan, dan pengelolaan bendungan yang tidak optimal adalah faktor-faktor yang memperparah kondisi ini. Kita perlu menata kembali ruang kota dengan memperhatikan prinsip-prinsip ekologi, seperti memperbanyak ruang terbuka hijau, membangun sistem drainase yang terpadu, dan mengelola bendungan secara berkelanjutan,” paparnya.
Wahyu juga memberikan contoh solusi adaptif yang dapat diterapkan, seperti rumah panggung yang tahan banjir dan penggunaan material bangunan yang ramah lingkungan.
“Kita bisa belajar dari kearifan lokal masyarakat yang telah lama hidup berdampingan dengan alam. Rumah panggung adalah solusi cerdas untuk menghadapi banjir, sementara penggunaan material lokal yang berkelanjutan dapat mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan,” pungkasnya.
Diskusi ini menjadi wadah bagi para tokoh lintas iman dan aktivis lingkungan untuk berbagi pandangan, mencari solusi, dan membangun kesadaran bersama tentang pentingnya menjaga kelestarian alam demi keberlangsungan hidup manusia dan bumi.
Editor: Arif
- Penulis: Fatwa Fauzian
