JAKARTA – Program Makan Bergizi Gratis (MBG), sebuah inisiatif unggulan dari pemerintahan Prabowo-Gibran, kini menghadapi tantangan serius meskipun telah menjangkau lebih dari 35 juta penerima manfaat di seluruh Indonesia dalam delapan bulan terakhir.
Persoalan seperti kasus keracunan makanan, lemahnya pengawasan keamanan pangan, serta belum adanya landasan hukum yang kuat, menjadi perhatian utama.
Edy Wuryanto, anggota Komisi IX DPR RI, menekankan perlunya evaluasi mendalam terhadap program ini.
“MBG adalah program ambisius dengan tujuan mulia, namun implementasinya masih jauh dari sempurna. Kita harus belajar dari pengalaman tahun pertama ini,” ujarnya.
Menurut laporan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) yang dirilis pada 13 Oktober, lebih dari 11.566 anak mengalami keracunan setelah mengonsumsi makanan yang disediakan oleh penyelenggara MBG.
Gejala yang umum dialami adalah mual, muntah, dan diare. Edy Wuryanto menyoroti bahwa kejadian ini mengindikasikan adanya kelemahan dalam sistem keamanan pangan serta belum adanya regulasi yang memadai.
“Pemerintah sedang menyusun Peraturan Presiden tentang MBG, tetapi program ini sudah berjalan hampir setahun tanpa payung hukum yang jelas. Hal ini menyebabkan pelaksanaan di lapangan menjadi tidak terkoordinasi,” tambahnya.
Data dari Badan Gizi Nasional (BGN) hingga Oktober 2025 menunjukkan bahwa terdapat 11.567 Satuan Pelaksana Pangan Bergizi (SPPG) yang beroperasi di seluruh Indonesia. Program ini melibatkan 35,8 juta penerima manfaat dan melibatkan 9.026 UMKM lokal dalam rantai pasokan.
Pemerintah telah mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki tata kelola program, termasuk mewajibkan SPPG memiliki Sertifikat Laik Hygiene Sanitasi (SLHS), merevisi petunjuk teknis dan SOP, memberikan sanksi kepada SPPG yang lalai, memperketat verifikasi penyelenggara, serta melakukan audit keamanan pangan dan keuangan bersama BPKP.
Selain itu, pelatihan bagi penjamah makanan, kewajiban penggunaan rapid test kit untuk uji cepat kualitas bahan pangan, dan akreditasi SPPG sebelum beroperasi juga menjadi bagian dari upaya perbaikan.
“Langkah-langkah ini adalah respons yang baik, tetapi seharusnya menjadi bagian dari sistem yang permanen, bukan hanya tindakan reaktif. Keamanan pangan harus menjadi prioritas utama dalam setiap aspek program,” tegas Edy.
Dari sisi ekonomi, MBG telah memberikan dampak positif bagi UMKM pangan, petani, dan nelayan lokal. Namun, Edy menekankan bahwa dampak ekonomi ini perlu diukur secara lebih konkret.
“Pembentukan SPPG di daerah 3T masih belum merata, sehingga manfaat ekonomi MBG belum dirasakan secara merata. Evaluasi lebih lanjut diperlukan untuk mengatasi ketimpangan ini,” jelasnya.
Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024, angka stunting nasional mengalami penurunan menjadi 19,8 persen. Edy mengingatkan bahwa efek MBG terhadap penurunan stunting perlu diuji lebih lanjut.
“Penurunan stunting membutuhkan intervensi gizi yang berkelanjutan sejak remaja, calon pengantin, ibu hamil, hingga anak usia dua tahun. MBG hanyalah salah satu bagian dari upaya tersebut,” katanya.
Untuk memastikan efektivitas program, Edy mendorong Kementerian Kesehatan dan BGN untuk melakukan survei gizi tahunan terhadap kelompok sasaran MBG.
“Kita perlu data yang akurat untuk mengetahui apakah MBG benar-benar memberikan dampak positif terhadap status gizi anak-anak,” tegasnya.
Edy juga berkomitmen untuk terus mendorong percepatan Perpres Tata Kelola MBG agar program ini memiliki dasar hukum yang kuat dan transparan.
“Keberhasilan MBG tidak hanya diukur dari jumlah porsi yang dibagikan, tetapi dari perubahan nyata, yaitu perbaikan gizi anak, penurunan kasus keracunan, pertumbuhan ekonomi lokal, dan efektivitas sistem pengawasan,” tutupnya.
Editor: Arif