PATI – Banjir yang melanda sejumlah wilayah di Kabupaten Pati pada 19-20 Mei 2025 lalu dinilai sebagai fenomena baru oleh pegiat lingkungan.
Banjir tersebut, yang antara lain terjadi di Desa Gunungpanti (Winong), Desa Sinomwidodo dan Angkatan Kidul (Tambakromo), Desa Tanjunganom (Gabus), serta Desa Ngening dan Desa Ketitangwetan (Batangan), dipicu oleh hujan lebat di Pegunungan Kendeng dan jebolnya tanggul Sungai Gandam.
“Menurut saya ini fenomena baru. Biasanya bulan-bulan seperti ini sekalipun hujan tidak banjir,” ujar Ari Subekti, Juru Bicara Jaringan Masyarakat Peduli Sungai Juwana (Jampisawan).
Ia menuding kerusakan parah di Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai penyebab utama. Kegagalan program pemerintah, termasuk program penghijauan, juga turut disoroti.
“Dengan demikian, wajar kalau daerah yang di bawah, di sisi kiri-kanan Sungai Juwana, mendapat kiriman air dari anak sungai, baik dari Kendeng maupun Muria, dan pasti akan banjir,” tegasnya.
Ia menekankan pentingnya pengelolaan DAS yang melibatkan masyarakat secara berkesinambungan, termasuk dalam perawatan pasca-penghijauan dan pengerukan sungai.
Hal senada diungkapkan Bupati Pati, Sudewo, yang mengakui telah lama tidak ada penanganan terhadap pendangkalan sungai.
“Sehingga akhirnya saat ini berdampak pada wilayah sekitar. Karena itu saya sudah memerintahkan Kepala DPUTR untuk segera menangani hal ini,” ujarnya.
Disisi lain, Kepala DPUTR Pati, Riyoso, membenarkan hal tersebut, namun mengakui dibutuhkan anggaran besar untuk mengatasi masalah pengendapan di sungai dan perlu pembahasan lebih lanjut.
Banjir di Pati selatan ini menjadi sorotan dan sekaligus menjadi panggilan untuk perbaikan pengelolaan DAS yang lebih berkelanjutan dan melibatkan masyarakat secara aktif.
Editor : Arif