KUDUS – Komunitas Fiksi Kudus (Kofiku) bekerja sama dengan Out of the Boox Kudus dan penerbit Bentang Pustaka sukses menggelar acara Bedah Buku “Pangeran dari Timur” di GOR Multifungsi Balai Jagong Kudus, Sabtu malam (11/10).
Acara ini menghadirkan dua pembicara dari Kofiku, Abdul Karim dan Arif Rohman, untuk mengulas novel karya Iksaka Banu dan Kurnia Effendi tentang pelukis legendaris Raden Saleh.
Novel setebal 700 halaman lebih ini memicu diskusi hangat karena menampilkan Raden Saleh tidak hanya sebagai seniman besar, tetapi juga sebagai tokoh yang hidup di tengah kekuasaan feodal dan kolonialisme.
Abdul Karim, dalam paparannya, menyebut Raden Saleh sebagai figur yang kompleks.
“Raden Saleh sangat berbakat karena dikirim belajar ke Eropa langsung. Tapi dia juga bukan sosok yang sepenuhnya patriotik. Ia keponakan Bupati Semarang, jabatan yang kala itu setara dengan utusan Belanda dan memiliki kekuasaan absolut,” jelas Karim.
Ia menambahkan bahwa ironi Raden Saleh terletak pada posisinya sebagai pelukis romantik yang menjadi bagian dari kekuasaan yang tidak romantis.
Karim juga menyoroti struktur dua alur cerita dalam novel, yaitu kisah Raden Saleh dan kisah cinta Ratna Juwita, yang tampak berbeda namun saling berkaitan.
“Kedua cerita ini sama-sama mengajarkan untuk melawan feodalisme dan ketidakadilan. Lewat karakter Ratna Juwita, Syafi’i, dan Syamsudin, penulis menampilkan perang opini terhadap figur Raden Saleh: apakah ia pahlawan, atau sekadar ningrat yang beruntung?” ujarnya.
Arif Rohman menyoroti sisi nasionalisme dalam karya dan kehidupan Raden Saleh. Ia mengulas makna simbolik dari lukisan “Penangkapan Pangeran Diponegoro” dan “Antara Hidup dan Mati,” yang menggambarkan pertarungan singa dan banteng.
“Kerajaan identik dengan singa, sementara rakyat Hindia identik dengan banteng atau kerbau. Melalui lukisannya, Raden Saleh menyampaikan perlawanan dengan cara yang halus namun tajam,” tutur Arif.
Arif juga menyinggung kemungkinan Raden Saleh pernah mengunjungi situs purbakala Patiayam di Kudus bersama naturalis Franz Wilhelm Junghuhn pada tahun 1857.
“Karena kita tinggal di Kudus, saya penasaran apakah benar Raden Saleh pernah ke Patiayam. Novel ini tidak mengangkat hal itu, mungkin karena keterbatasan data. Tapi justru ini bisa jadi peluang bagi penulis Kudus untuk menulis episode yang belum diceritakan,” katanya.
Dalam sesi tanya jawab, sejumlah peserta muda menanyakan relevansi novel ini dengan pembelajaran sejarah dan makna “Timur” dalam judul. Arif menjelaskan bahwa judul “Pangeran dari Timur” bisa dimaknai sebagai representasi tiga tokoh utama, yakni Raden Saleh, Syafi’i, dan Pit Liong, serta simbol pertentangan antara dunia Barat dan Timur.
“Raden Saleh pernah menyebut dirinya Pangeran dari Jawa. Novel ini mungkin memperluas makna itu menjadi Pangeran dari Timur sebagai refleksi identitas dan benturan budaya,” jelasnya.
Abdul Karim menambahkan bahwa salah satu daya tarik novel ini adalah penggambaran Raden Saleh sebagai manusia biasa.
“Penulis tidak memuja Raden Saleh sebagai pahlawan tanpa cela. Ia digambarkan punya ego, bahkan skandal asmara di Eropa. Justru di situ menariknya, kita melihat seniman besar ini secara manusiawi,” ujar Karim.
Diskusi ditutup dengan refleksi Arif bahwa nasionalisme Raden Saleh patut dibaca dalam konteks zamannya.
“Raden Saleh hidup seratus tahun sebelum kemerdekaan. Nasionalismenya tidak bisa dibandingkan dengan Soekarno, tapi ia tetap menunjukkan keberanian lewat seni. Kalau hari ini kita ingin menyuarakan kritik, bisa lewat media sosial. Dulu, Raden Saleh melakukannya lewat lukisan,” pungkasnya.
Acara ini merupakan bagian dari upaya Kofiku, Out of the Boox Kudus, dan Bentang Pustaka untuk menghidupkan budaya literasi melalui pembacaan dan diskusi karya sastra sejarah.
Editor: Arif