Di Bawah “Kanopi Persaudaraan”, Gereja dan Masjid di Winong Pati Gelar Sarasehan Paseduluran
- account_circle Fatwa Fauzian
- calendar_month 2 jam yang lalu
- visibility 1.221

Di Jalan Kolonel Sunandar Gang 6, Desa Winong, Kecamatan Pati, Kabupaten Pati, dua bangunan tempat ibadah — Gereja Kristen Muria Indonesia (GKMI) Winong dan Masjid Al-Muqorrobin — berdiri tegak saling berhadapan.
PATI – Di Jalan Kolonel Sunandar Gang 6, Desa Winong, Kecamatan Pati, Kabupaten Pati, dua bangunan tempat ibadah — Gereja Kristen Muria Indonesia (GKMI) Winong dan Masjid Al-Muqorrobin — berdiri tegak saling berhadapan.
Bukan sekadar bertetangga, sebuah kanopi permanen selebar kurang lebih lima meter membentang di atas jalan, menghubungkan atap keduanya seolah menjadi simbol tangan yang bergandengan erat.
Kehangatan persaudaraan itu semakin terasa pada Minggu malam (28/12/2025). Di bawah naungan kanopi dan terpal biru, puluhan jemaah masjid dan jemaat gereja duduk lesehan dalam acara “Sarasehan Paseduluran”.
Suasana jauh dari formal dan kaku; mereka larut dalam obrolan santai sambil menikmati bakso dan makanan ringan, dengan gelak tawa keakraban sebagai penghias.
Acara dimulai dengan khidmat saat seluruh hadirin berdiri menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, di mana semangat nasionalisme menjadi fondasi toleransi yang mendarah daging di desa itu.
Ada alasan menyentuh di balik penyelenggaraan sarasehan: tahun ini, GKMI Winong memutuskan tidak menggelar perayaan Natal seperti biasa.
Didik Hartono, Pendeta GKMI Winong, menjelaskan bahwa keputusan ini diambil sebagai bentuk empati terhadap saudara-saudara di wilayah lain, khususnya di Sumatra, yang sedang berduka akibat bencana alam banjir dan tanah longsor.
“Kami belajar berempati dengan saudara-saudara kita yang sedang mengalami bencana alam. Sebagai gantinya, kami menyelenggarakan sarasehan ini untuk tetap merawat persaudaraan yang selama ini sudah terjalin sangat baik antara GKMI Winong dan Masjid Al-Muqorrobin serta masyarakat di lingkungan sekitar,” ungkap Didik.
Dia mengatakan, dalam acara sarasehan ini GKMI Winong mengundang beberapa pihak.
Selain jemaat dan pengurus gereja, diundang pula takmir Masjid Al-Muqorrobin, kepala desa, Forum Kesehatan Desa, ketua RW dan ketua-ketua RT, serta tokoh agama Islam setempat.
“Plus juga ada satu rekan, Bapak Pendeta Paulus Hartono dari Solo, yang memang punya film dokumenter tentang perdamaian, dan kami bagikan itu untuk menyemangati kembali di dalam kami merawat persaudaraan di antara kami,” ucapnya.
Pendeta Didik juga memberikan refleksi mengenai makna Natal yang dikaitkan dengan kehidupan berbangsa.
“Kalau tema Natal secara nasional itu kan ‘Allah Hadir untuk Menyelamatkan Keluarga’. Nah, kami mencoba memaknai keluarga itu tidak hanya sekadar keluarga batih atau keluarga dalam rumah tangga, melainkan Indonesia ini adalah satu keluarga besar. Dan ada banyak ragam di dalamnya,” ucapnya.
Didik melanjutkan, Allah hadir menyelamatkan keluarga dengan cara menjaga kerukunan warga Indonesia yang merupakan satu keluarga besar.
“Sehingga sungguh kehadiran Allah juga nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia ini karena umat yang ada di dalamnya di tengah keberagaman ini mau hidup rukun satu dengan yang lain,” tegas dia.
Bagi warga Desa Winong, kerukunan bukanlah teori, melainkan praktik sehari-hari.
Hal itu ditegaskan Rachmanudin, salah satu tokoh agama Islam di Desa Winong yang turut menghadiri Sarasehan Paseduluran. Dia sangat mengapresiasi inisiatif GKMI Winong ini, menyatakan bahwa acara ini semakin memperkuat fondasi toleransi yang sudah dibangun sejak lama.
“Ini adalah acara yang luar biasa. Selain menunjukkan persatuan, sarasehan ini memperkuat toleransi yang sebetulnya sudah terbentuk di Winong sejak lama. Kita disatukan dalam satu visi: persatuan NKRI,” ujarnya.
Rachmanudin juga menilai, melalui pemutaran film bertema perdamaian dan dialog antarwarga, Sarasehan Paseduluran ini kembali mengingatkan bahwa di tengah perbedaan keyakinan, ada satu ikatan yang tak boleh putus, yakni kemanusiaan.
Dalam konteks ini, Desa Winong telah membuktikan bahwa perbedaan bukanlah pembatas, melainkan warna yang mempercantik tenun kebangsaan.
Di bawah “kanopi persaudaraan” yang menghubungkan kedua tempat ibadah, mereka tidak hanya berbagi makanan, melainkan juga berbagi harapan untuk Indonesia yang lebih rukun. Kanopi yang menghubungkan gereja dan masjid mereka bukan sekadar struktur besi, melainkan jembatan hati yang tak lekang oleh waktu.
Editor: Arif
- Penulis: Fatwa Fauzian
